Bab 57

Romance Completed 25593

BAB 57

VIAN POV

Kalau dulu cintaku sangat menggebu-gebu dikatakanlah begitu. Tapi sekarang detik ini juga, atau tiap detik kadar cintaku ini bukan lagi menggebu-gebu kepada bidadari tersayangku ini. Melainkan sudah menetap, dan tak akan bisa tergoyahkan lagi. Hmmm, sejak mengenal dia, hatiku memang telah menetapkan pilihannya. Sampai kemarin saat merasakan sendiri bagaimana aku mengalami yang namanya kontraksi itu.

Semua pasti tak percaya, bahkan kalau di Hong kong sana para suami perlu membayar mahal hanya untuk merasakan bagaimana rasanya seorang ibu mengalami kontraksi, di sini aku dengan gratis sangat menikmatinya.

Pengalaman yang sungguh luar biasa, rasanya benar-benar menakjubkan. Wanita itu memang hebat, ya, bisa berkali-kali melahirkan meski rasanya sehebat itu.

Terlepas dari itu semua, aku kembali bersyukur karena akulah yang merasakannya. Meski selanjutnya istriku kembali merasakan rasa luar biasanya saat melahirkan. Melihatnya berjuang antara hidup dan mati demi melahirkan buah hati kami tercinta, membuatku semakin mencintai istriku tersayang.

Bahkan sekarang setelah 36 hari pasca melahirkan, aku masih tak tega jika melihatnya. Kadang tiap malam dia mengeluh masih merasakan nyeri di pangkal pahanya, atau jika hawa dingin di malam hari terasa dia sampai menangis menahannya.

Dokter Ratna memang mengatakan itu butuh proses. Jahitannya masih menunggu sampai mengering, sobekannya memang dalam jadi perlu dijahit beberapa kali.

Aku ngeri membayangkannya.

Istriku tercinta, kalau bisa aku pun ingin menggantikanmu merasakan semuanya. Tapi dia masih malu untuk bersikap manja kepadaku, sangat dewasa dalam menjalani semuanya, seperti saat kehilangan bunda. Istriku berusaha tegar kadang aku yang merasa bersalah kalau dia hanya diam tak berani mengeluh, sesakit apapun atau selelah apapun dia merawat Kavi.

Sejak Kavi lahir mama menemani di sini, selain untuk merawat Kavi juga, memberi waktu untuk istriku belajar dan memulihkan kondisinya. Masku juga menyempatkan terbang dari Amerika demi melihat keponakan pertamanya ini. Aku tahu masku ke Amerika untuk menghindariku dan istriku. Aku juga tahu dia belum bisa melupakan perasaannya terhadap istriku. Dan saat ini aku juga tahu sebenarnya apa yang tengah dirasanya. Seperti pagi ini, saat istriku dan Kavi dan juga mama sibuk menghangatkan tubuh Kavi di bawah sinar matahari pagi di taman, kulihat masku merenung di taman belakang.

“Mas, kopi.” Kuletakkan cangkir yang berisi kopi hitam hasil racikan Radit di café.

Dia menoleh ke arahku dan tersenyum.

“Kau tak berniat membeli rumah ini, Dek?” ucapnya sambil bersandar di sofa.

“Om Dewa tak mau rumahnya ini dibeli, disuruh ditempatin aja udah senang. Tapi aku juga tak berniat menetap di sini, Mas, aku akan pulang ke Yogya, yah mungkin setelah kuliahku selesai.”

“Loh café ini gimana, Dek? Sayang, kan?”

Aku tersenyum sambil mengamati istriku dari kejauhan yang tampak tertawa senang saat Rasya menggoda Kavi dan juga si lucu Nayla itu juga ikut bergabung.

“Besok café ini aku suruh Rasya untuk menjaganya. Dia itu cerdas dan juga berminat di bidang bisnis, turunan dari om Dewa kali, ya?”

Masku menyesap kopinya sambil terkekeh.

“Kau beruntung, ya, ada om Dewa dan Rasya yang sangat setia denganmu.”

Dia menghela napasnya, lalu pandangannya beralih ke arah istriku. Menatapnya dalam untuk beberapa saat. Aku tahu masih ada cinta di matanya untuk istriku.

Lalu dia menoleh ke arahku, “Kau juga beruntung mendapatkannya. Bidadari yang dikirimkan dari surga, tulang rusukmu yang memang benar-benar indah.” Ucapannya membuat hatiku menghangat. Aku pun merasakan demikian, Mas, Rosaline Prameswari itu memang belahan jiwaku yang sempurna.

“Mas sendiri juga bisa menemukan tulang rusukmu, kan? Mungkin Mbak Sisca ...”

Raut wajahnya berubah muram, lalu dia menghela napasnya lagi.

“Kalau boleh meminta, Dek, aku ingin dilumpuhkan ingatanku tentang Aline, sehingga aku tak perlu melukai, semuanya dengan perasaanku ini. Melukaimu, melukai Aline dan juga Sisca. Aku salah sangat salah dengannya, memanfaatkannya selama ini. Dan aku tak mau itu terjadi terus, maka aku memintanya untuk melepaskanku. Dia perlu bahagia tanpa aku.”

“Mas ...” Kutatap dia yang kini menunduk dan memainkan jemarinya. Bagaimanapun juga aku bisa merasakan luka hatinya.

“Mas, masih?” Lidahku kelu untuk meneruskan ucapanku. Hatiku terasa sesak mengetahui fakta kalau kami masih mencintai wanita yang sama.

“Dek, maaf, rasa ini masih ada dan entah sampai kapan, tapi tenanglah sebisa mungkin aku akan menekannya dan mengubahnya. Aline sudah jadi keluarga kita, dia adikku sekarang dan aku akan membebaskan hati ini, meski butuh berapa lama untuk mengikisnya, maaf.“ Dia menelungkupkan wajahnya di kedua telapak tangannya.

Aku hanya bisa diam terhenyak. Haruskah masku merasakan ini semua? Aku merasa bersalah.

*****

“Dek, jangan paksaan otakmu, Papa tahu Adek ingin meneruskan kuliah karena ucapan Papa saat itu kan? Papa minta maaf, dan kini Papa tahu Adek tak usah memaksakan diri. Urusi saja bisnis cafému ini, Dek, dan juga fokus merawat Kavi.” Papa menatapku dalam setelah makan malam kami selesai.

Semuanya kini beralih ke ruang keluarga. Istriku sendiri dari tadi tampak menempel dengan tante Rani. Mungkin berbagi pengalaman karena sama-sama merupakan ibu muda.

Aku tersenyum ke arah Papa, ”Pa, Vian tak keberatan, kok, lagipula Vian bisa dan mampu menjalani ini semua. Papa tenang saja, tunggu Vian kembali ke Yogya setelah menyelesaikan spesialis ini dan juga mengambil MMR untuk meneruskan tampuk kepemimpinan rumah sakit milik Papa.” Jawabanku yang diplomatis ini langsung membuat raut papa berbinar.

“Adek, kau dari dulu selalu membuat Papa bangga,” ucap papa senang dan kini menatapku dengan binar yang sungguh bahagia.

“Ya udah, Vian pamit dulu, ya, Pa.” Aku segera bangkit dari kursi dan diangguki oleh papa. Tak terlihat keberadaan istriku juga sudah tak ada di ruang keluarga. Dia pasti sudah berada di kamarnya. Ehm, seharian ini memang kami disibukkan oleh kehadiran keluarga di sini sehingga aku dan istriku berinteraksi cuma sebentar, padahal aku merindukannya sungguh.

Kulangkahkan kaki menuju kamar yang berada di lantai dua, tapi aku tertegun saat melihat masku kini tampak menenteng tas ranselnya. Kulihat jam tanganku dan mengerutkan kening. Ini sudah pukul 11 malam, mau ke mana dia??

“Mas, mau ke mana?” Aku pun melangkah mendekatinya yang tengah memakai ranselnya itu.

“Ehm, aku harus balik ke Amerika, Dek, ga bisa cuti kelamaan,” ucapnya membuatku terkejut. Ada yang aneh darinya.Sejak percakapan kami tadi pagi di taman aku memang tak melihatnya lagi, dan setelah makan malam tadi dia juga langsung menghilang.

“Mas tak menunggu besok pagi aja? Kenapa memilih penerbangan malam begini?”

Dia tersenyum dan mengusap wajahnya, menghela napasnya lagi, ”Aku mampir dulu ke Paris, Sisca dilarikan ke rumah sakit.” Ucapannya membuatku terhenyak.

“Ryan, benarkah?” Tiba-tiba suara istriku membuat kami menoleh ke arahnya yang sudah berganti piyama tidurnya keluar dari kamar.

“Apa yang terjadi dengan Sisca?” Istriku mendekat dan berdiri di sampingku.

“Entahlah aku cuma dapat telepon dari tante Sevi, mamanya, kalau Sisca masuk rumah sakit karena overdosis obat.Ehm, aku pamit, ya, Rasya yang akan mengantarkanku ke bandara. Jaga baik-baik Kavi, ya, Dek, dan juga jaga istrimu ini,” ucapnya sambil menepuk bahuku lalu beralih ke istriku. Menatapnya dalam lalu mengusap kepala istriku dengan sayang.

“Jangan kau nakali adekku loh ya, Line, ingat,” guraunya membuat istriku itu tersenyum tapi kemudian menatap masku. Kualihkan pandangan dari mereka. Meski aku tahu istriku sudah tak mencintainya tapi aku tahu pandangan itu masih menyimpan sejuta rasa. Kenapa hati ini masih terasa sakit?

“Kau juga baik-baik ya, ingat perkataanku, Sisca ... kembalilah ke Sisca,” ucapnya membuat masku mengusap matanya. Entahlah sepertinya masku ingin pergi lama dan mengucapkan perpisahan. Tiba-tiba kulihat dia meraih tubuh istriku dan dipeluknya. Aku hanya diam membeku, istriku menatapku bingung. tapi secepat kilat juga masku melepaskannya dan kini bergantian memelukku.

“Jaga mama dan papa ya, dek, jaga mereka, bahagiakan mereka. Jaga istrimu, muliakanlah dia, dan jaga Kavi. Mas pasti akan merindukan semuanya,” ucapnya lalu segera melepas pelukannya dan berlalu dengan cepat dari hadapanku dan istriku.

“Mas,” panggilku dan aku berlari dengan cepat ke arahya lalu memeluknya.

“Mas juga jaga diri, ya, maaf,“ ucapku membuatnya menepuk bahuku lalu melepaskan pelukanku.

“Aku yang minta maaf, ya, maaf tak bisa lama di sini kau tahu kan Mas masih tak bisa ... jadi Mas perlu menjauh dari kalian dulu. Entah berapa lama mungkin setahun, dua tahun atau entahlah.” Ucapannya itu benar-benar membuatku sedih.

*****

Kuhisap rokok yang berada di tanganku ini dengan dalam. Tak pernah aku merokok selama ini. Menyentuhnya pun tak pernah tapi kali ini aku butuh.

Suara batuk-batuk dari arah dalam membuatku menoleh ke belakang. Aku memang sedang berdiri di balkon kamar. Tadi setelah menemani istriku tidur, aku pun bangkit untuk mencari udara segar. Melihat kesedihan masku, melihat papa dan mama yang tadi menangis sedih saat masku berpamitan, aku jadi merasa bersalah. Di saat aku bahagia, masku mencoba untuk membunuh rasanya itu dan menyingkir dari keluarga. Adilkah???

Tiba-tiba tangan istriku sudah menyambar rokok yang masih menempel di bibirku.

”Kau gila huh? Apa ini?” teriak istriku tak percaya lalu dia terbatuk lagi.

“Maaf Fey, aku hanya tak bisa tidur.”

Istriku menginjak-injak puntung rokok itu sampai tak bersisa.

”Tak boleh tidur di kamar,” ucapnya galak ke arahku lalu segera berlalu menuju kamar lagi.

Tuh kan dia marah, bodohnya aku. Kuikuti langkahnya dan masuk ke dalam kamar. Tapi tiba-tiba Kavi menangis, istriku langsung berlari ke arah box bayi dan menggendong Kavi lalu membawanya ke kasur dan segera Buah hatiku, melihatnya menggeliat dalam gendongan istriku hatiku kembali menghangat, memang ini kebahagiaanku, ini takdirku. Aku tak bersalah, aku perlu menikmatinya.Aku merasa prihatin dengan masku. Semoga dia bisa segera meraih kebahagiaannya.

Kudekati Kavi dan ingin menciumnya tapi istriku kembali menatapku galak.

”Sana keluar, kau ini bau rokok,” ucapnya.

“Fey, aku baru menghisapnya satu kali, kok, lalu sudah kau injak-injak,” rajukku ke arahnya sambil mengusap rambut Kavi yang rupanya juga berwarna sama seperti rambutku.

“Singkirin, nih!” Istriku kembali menyingkirkan tanganku dan kini beranjak lalu menepuk-nepuk Kavi dan kembali membaringkannya di dalam box bayi.

“Fey ...” Kucoba memeluknya tapi dia beralih dan kini melangkah ke arah kasur. Mengambil selimut dan menyelimuti dirinya sendiri lalu memunggungiku yang telah berbaring di sebelahnya.

“Fey,” rajukku lagi, aku tak bisa didiamkan begini.

“Sikat gigi dulu sana, kau bau rokok,” ucapnya galak. Aku pun menurut, beranjak dari atas kasur dan menuju kamar mandi.

Hanya 5 menit aku melakukan sikat gigi, cuci muka dan akhirnya kembali ke kamar. Kulihat istriku sudah duduk menyandar di samping nakas. Menatapku tajam seperti ingin menelanku. Dia marah, aku tahu itu.

“Untuk apa kau merokok?” tanyanya tajam saat aku mulai duduk di sampingnya.

“Ehm hanya ..., ingin saja,” jawabku tak tahu apa yang harus kukatakan. Istriku menghela napasnya.

“Karena Ryan? Kau merasa bersalah?” Istriku ini memang sangat peka. Seperti cenayang selalu saja bisa menebak semua yang berkecamuk di dalam hati dan otakku.

“Entahlah Fey, aku hanya merasa ini tak adil buatnya, dia sampai begini demi menghindari kita.” Kutatap raut wajah istriku yang tiba-tiba berubah.

“Jadi maksudmu apa?” tanyanya skeptis ke arahku.

Tuh kan, aku salah ngomong lagi. Istriku sangat sensitif sejak melahirkan, mungkin sindrom baby blues masih menghinggapinya sehabis melahirkan.

“Fey, bukan itu, aku hanya merasa iba dengan masku. Tak ada yang lain, rasanya aku di sini bahagia, tapi dia menyepi dan menyingkir demi kita.”

“Kau membuatku merasa bersalah, di sini aku yang pantas disalahkan. Kalau aku tak hadir pasti kau dan Ryan akan hidup dengan damai.” Ucapannya membuatku terkejut dan kupandangi istriku yang kini menatapku dengan tatapan terluka.

“Fey, hust bukan seperti itu maksudku. Hanya merasa iba dengan masku karena ...“ Aku terhenti saat melihat istriku mengusap air matanya, hatiku terluka melihat dia menangis.

“Karena dia masih mencintaiku, karena dia tak bisa melupakanku. Aku bersalah bahkan aku telah merusak rumah tangga orang, Sisca tak disentuhnya saat aku muncul di pernikahan masmu, Yan. Sisca menderita karena aku. Harusnya saat itu aku tak datang. Harusnya kau tak menikah denganku dan harusnya aku tak membuat Sisca sampai mencoba bunuh diri, semua karena aku!”

Dia terisak keras saat ini. Aku benar-benar tak tega melihatnya. Kurengkuh tubuhnya yang bergetar hebat itu karena tangisnya. Kukecupi pucuk kepalanya untuk menenangkannya.

“Maaf, maaf,” bisikku lembut di telinganya. Aku bersalah saat ini.

*****

Semalam akhirnya kami tidur dengan saling memeluk, tapi saat subuh aku terbangun tak mendapati istriku dan Kavi di kamar. Dan saat keluar kamar setelah sholat subuh, aku melihat mama tengah menggendong Kavi di ruang tengah.

“Loh, Aline mana, Ma?” Aku melangkah ke arah mama dan mengecup pipi Kavi. Si kecil itu tengah menatap hiasan lampu yang berada di atasnya.

“Aline sedang memasak di dapur, katanya ingin membuatkan klapertart kesukaanmu,” ucap mama membuatku terkejut. Sepagi ini, dan dia sudah berkutat di dapur.

Kulangkahkan kaki ke arah dapur dan mendapati istriku terlihat cantik dengan celemek warna pink ditemani Evan.

“Fey.” Aku memanggilnya membuat dia mendongakkan wajahnya dari depan oven.

“Aku buatkan klapertart kesukaanmu,” ucapnya lalu beralih lagi ke arah oven. Evan yang tengah menyesap susu cokelatnya kini menepuk kursi di sebelahnya. Aku pun menurut dan duduk di sebelahnya.

“Kau apakan mbakku, huh? Itu kenapa matanya sembab begitu?’” bisik Evan langsung ke arahku.

“Maaf,” ucapku ke arahnya, dan Evan pun menepuk bahuku.

“Dia sangat mencintaimu, Yan, jangan buat dia menangis. Percayalah dengannya dan jangan pernah merasa bersalah. Hanya kau yang bisa membuatnya tegar setelah kepergian bunda, aku pun tegar karena kekuatannya. please jangan pernah buat dia bersedih lagi.” Evan menepuk bahuku lagi lalu berdiri meninggalkanku dan istriku.

“Tadaaaa, klapertart buatan chef Aline!” Istriku meletakkan klapertart-nya di hadapanku. Dia akan beralih dari depanku tapi dengan cepat kuraih tangannya dan kutarik tubuhnya untuk duduk di pangkuanku.

“Yan, Kavi kasian lagipula kenapa di sini, malu,” tolaknya lalu mendorong tubuhku. Aku menahan tubuhnya lalu mengusap matanya yang memang terlihat sembab itu.

Aku tahu semalaman dia menangis.

“Maaf, maafin aku ya, Fey. Jangan pernah menangis lagi, karena aku tak bisa melihatmu begini.” Kuraih wajahnya dan kukecupi kedua matanya itu. Tangannya melingkar di leherku, lalu membenamkan wajahnya di lekuk leherku. Badannya merapat menempel denganku.

“Jangan seperti semalam, ya, aku tak bisa kalau kau juga seperti semalam. Aku butuh kau kuatkan, Bee. Aku benar-benar butuh kau,“ ucapnya membuatku semakin medekapnya erat.

“Aku berjanji, Fey, berjanji. Maafin aku, ya, tak akan

bertindak kekanakkan lagi, kau milikku, kau takdirku.”

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience