BAB 9
“Sayang, ini aku suamimu.” Dan baru seperkian detik setelah menoleh ke kanan dan kiri merasa suara aneh itu aku mulai meraba telingaku dan ada earphone tersumbat di telingaku. Di sebelahku Iphone milik Ryan sudah tergeletak dengan manis di sana.
Kutatap malu-malu Ryan yang kini terkekeh melihatku.
“Kata mas, kalian sudah sampai Dubai, ya? Sudah transit?“ ucap Vian di ujung sana.
Aku tergeragap dan mengangguk. Aih tuh kan Aline bodoh kenapa mengangguk Vian juga tak mungkin melihat.
“Iya ... ehmm tapi aku juga tak tahu aku baru saja terbangun,” jawabku asal.
Kini Ryan tampak menatapku intens entahlah apa arti tatapan itu. Seorang pramugari tampak menghampiri Ryan dan berbicara dengannya. Lalu tiba-tiba Ryan menarikku untuk beranjak dari tempat dudukku.
“Sayang, aku sudah tak sabar ingin kau sampai di sini, kangen ... tujuh jam lagi ya kita bertemu. Sekarang aku ada kelas ... muach muach ... see you sweetheart,” ucap Vian dan sebelum aku menjawab bocah itu sudah mengakhiri panggilannya.
Tuh kan dasar kakak adik sama saja, selalu memaksa dan bertindak seenaknya. Seperti sekarang ini tanganku telah digenggamnya erat dan menarikku keluar dari pesawat.
Aku yang masih asing dengan suasana bandara di
Dubai ini atau memang belum pernah melakukan transit karena memang terbang juga hanya ke Singapura itu pun diajak Nadia, sahabatku paling baik itu. Ryan tampak berbincang lagi dengan salah satu pramugari dan menerima sesuatu.
“Kau lapar, kan? Tadi juga kau tidur makanya makanan pembuka yang diberikan pramugari juga tak kau sentuh,“ ucap Ryan saat menoleh ke arahku. Kurasakan perutku memang sudah benar-benar perlu diisi.
“Kita transit di sini berapa jam?” Kutarik tanganku dari genggaman tangannya dan menjauh. Ryan mengernyit atas jarak yang kuberikan tapi kemudian tetap melangkah di sampingku. Dia lalu menunjukkan sesuatu yang diberikan pramugari tadi.
“Tiga jam dan ini meal voucher untuk kita makan, kau mau makan apa?” tanyanya ke arahku. Aku mencoba berpikir. Tapi belum menjawab dia sudah menarikku lagi membawaku masuk ke dalam sebuah restoran mewah yang masih ada di dalam kawasan bandara.
Masih bingung dengan daftar menu yang ada, Ryan sudah menyebutkan beberapa menu yang tak asing .
“Ini daftar menunya?“ ucapku sambil menirukan salah satu iklan cokelat di televisi membuat Ryan tergelak.
Lalu menatapku geli, ”Kau ini lucu, ya?”
Aku hanya tersenyum, ”Kan memang ini daftar menunya tapi kenapa kau menyebutkan sup buntut dan sambal goreng balado?“ tanyaku heran.
Ryan terkekeh lagi lalu menunjuk ke meal vouchernya. ”Ini voucher untuk restoran mewah ini menu Eropa, aku tak suka ... aku lebih suka masakan Indonesia dan aku tahu kau juga kelaparan makanya aku pesankan nasi dan sop saja,” ucapnya membuatku ber-owh ria.
Karena heran ada juga menu Indonesia di sini.
“Line, nanti kita ke Edinburgh dulu, ya, jadi kita naik yang tujuan Edinburgh, aku mau reservasi hotel dulu dan melakukan pendaftaran untuk seminarku sebentar baru ke Glasgow,” ucapnya sambil mengunyah makanannya yang sudah datang.
“Memangnya dari Edinburgh ke Glasgow berapa jam?“ tanyaku bingung karena aku benar-benar buta dengan negara itu.
Bukan tak mau tahu tapi buat apa coba dulu aku pikir aku tak mungkin kan berada di sini, apalagi di Skotlandia.
“Naik bus cuma satu jam,” jawabnya singkat lalu kembali memakan makanannya. Aku pun tak mau ambil pusing karena aku juga masih tak menyangka kenapa aku bisa berada di sini. Lagipula besok aku pasti bisa kena marah Christian karena membolos.
“OH MY GOD,” pekikku saat tersadar aku belum izin kepada bosku itu sekalian sahabatku.
Ryan menatapku keheranan.
“Ehm aku belum menelepon hotel tempatku bekerja, bagaimana ini?“ tanyaku bingung.
Tapi Ryan tersenyum. ”Sudah aku izinkan itu kepada bosmu. Siapa namanya? Christian, ya? Bule itu?“ ucapnya membuatku melongo.
“Kapan?“ tanyaku bodoh. Dia terkekeh lagi, heran kemarin saja dia hanya diam terus sekarang kekehannya selalu menghiasi wajahnya?
“Kemarin,” jawabnya lagi kemudian kudengar suara dering ponselnya menginterupsinya. Kulihat dia mengecek Iphonenya yang digeletakkan di meja dan sempat aku melihat nama di ponsel Fransisca.
Dia menatapku dan permisi untuk menjawab panggilan dari istrinya itu. Kuhela napasku, entah kenapa luka itu kembali menyeruak menyadari dia memang bukan milikku. Aih Aline, sadar sadar dia memang bukan takdirmu. Rutukku dalam hati merasa bodoh lagi masih merasa euforia saat bersamanya.
“Kenapa, Line?” tanyanya mengagetkanku. Ryan sudah duduk dengan manis di hadapanku lagi.
“Ehm, nothing,“ ucapku asal dan kembali menyesap jus strawbery di depanku.
“Tadi Sisca meneleponku sudah sampai belum?“ jelasnya.
Aku menatapnya heran dan kuhela napasku. ”Dia tahu kau pergi bersamaku?” tanyaku membuat raut wajahnya langsung berubah.
Ketika kulihat dia menggeleng, aku tahu ini ada yang salah. Aku jadi merasa menjadi selingkuhannya atau apapun itu, buruk sangat buruk sekali.
“Line, bukan begitu, Mama kemarin yang meminta tolong kepadaku beliau tak bisa mengantarmu ke Glasgow padahal semua sudah siap, Visamu juga siap,” ucapnya membuatku makin mengerutkan keningku.
“Maksudmu apa? jadi kalian sudah merencanakan ini ?” Aku menggelengkan kepalaku merasa tertipu mentahmentah. Ryan menggeleng. Lalu membuang napasnya berat dan mengalihkan pandangannya dariku.
“Kau tahu, Line, sebenarnya ini berat buatku, saat tahu kaulah wanita yang dicintai Vian, adikku satu-satunya, tapi aku bisa apa, aku mengalah karena Vian sangat aku sayangi, aku mengalah dengan semuanya karena aku pikir aku juga sudah bisa belajar mencintai Sisca, tapi ternyata semua salah, Line, saat aku melihatmu di pernikahanku itu, hatiku kembali bergetar. Rasa ini masih ada, dan saat aku menemuimu kemarin rasa itu makin ada. Aku curhat dengan Mama, dan menemukan solusinya,” ucapnya lalu kemudian menatapku dengan tatapan terluka. “Apa? Aku masih tak mengerti.” Ryan menghela napasnya.
“Aku bilang ke mama aku tak bisa melihatmu beredar di sekelilingku apalagi mama memintamu tinggal di rumah padahal aku tiap hari pasti mengunjungi mama dan juga Fransisca pasti akan sangat marah jika tahu kau di sana. Aku meminta kepada mama dan Vian untuk mengizinkanmu ikut Vian di Skotlandia, selama 2 tahun. Mungkin ini jalan terbaik, Line, agar aku bisa menerima kehadiranmu menjadi adik iparku, karena sampai saat ini aku jujur masih sangat mencintaimu.”
Kututup pintu geser yang ada di ruangan first class ini, fasilitasnya memang benar-benar membuat penumpang nyaman.Dilengkapi dengan pintu geser untuk privacy penumpang. Aku menempelkan sticker yang diberikan pramugari tadi waktu awal masuk ke pesawat saat selesai transit selama 3 jam. Pramugari memberiku sticker-sticker ini untuk dipasang di seat kita saat penerbangan nanti. Stickernya terdiri dari 3 macam, yaitu: Do not disturb, Wake me up for meal, dan Wake me up for duty free shop. Jadi dijamin pramugari tidak akan membangunkan kita jika memang kita ingin beristirahat penuh selama penerbangan. Dan aku menempelkan Do not disturb karena saat ini aku memang tak ingin diganggu oleh siapa pun. Sejak ucapan Ryan tadi aku benar-benar marah. Aku tak bicara dengannya sampai waktu transit habis.
Siapa dia bisa mengaturku untuk pergi ke sini dan menemani Vian. Enak saja! Aku bukan robot yang bisa diperlakukan sesuka hatinya. Kalau dia mencoba menjaga hati Sisca lalu bagaimana dengan hatiku? Merasakan itu aku kini benar-benar menangis. Cengeng memang, tapi siapa yang tak cengeng saat kita dijebak sendiri oleh keluarga suami kita tanpa diberi waktu untuk berpamitan. Aku belum berpamitan dengan bunda, dan juga semuanya. Enak saja, aku benar-benar kesal dengan mereka. Terutama Ryan, orang yang sekali lagi menorehkan luka kepadaku.
Kejam, hanya satu kata itu yang tertangkap di benakku kini. Kunyalakan televisi yang ada di depanku untuk menghilangkan kesedihan tapi lagi-lagi aku menangis. Meringkuk di dalam ruangan mewah ini, dan tak menikmatinya semuanya terasa hampa dan kosong kini buatku. Tujuh jam penerbangan tak terasa untukku karena aku hanya meringkuk di atas kasur. Menangis dan menangis. Hanya beberapa kali pramugari menawarkan minuman ataupun makanan tapi kutolak dengan halus.
Ryan juga tak membuka pintu gesernya. Entahlah aku tak peduli. Persetan dengannya.
Sampai pesawat landing aku pun tak membuka mulut. Biarlah kuturuti saja saat dia menarikku keluar dari pesawat, melangkah masuk ke bandara, masuk ke loket petugas imigrasi mendaftarkan visaku. Aku tetap terdiam sampai akhirnya Ryan mengajakku masuk ke dalam sebuah bus. Bukankah tadi dia akan reservasi hotel dulu? Tapi kenapa sekarang langsung masuk ke bus?
Tapi lagi-lagi aku mengacuhkannya biarlah aku tak peduli. Ryan pun tanpak canggung kepadaku.
Selama satu jam perjalanan tak ada sedikit pun dari kami yang bicara. Tapi bisa kurasakan perhatiannya saat dia mengalungkan syal miliknya ke leherku karena melihatku kedinginan. Yup aku memang kedinginan karena suhu di sini benar-benar membuatku membeku. Kuterima saja syal itu tapi saat dia akan menggenggam tanganku kutepis tangannya dan dia sadar akan itu.
Bus berhenti di halte dan Ryan mengajakku turun, lalu mengajakku berjalan memyusuri bangunan bangunan tua, tapi masih sangat terawat ini. Aku sempat mendapat informasi dari google kalau University of Glasgow merupakan salah satu dari empat universitas tertua di Skotlandia. University of Glasgow berdiri di tahun 1451 dan selalu masuk ke dalam peringkat 100 universitas terbaik di dunia yang diadakan oleh beragam organisasi. Bahkan pada tahun 2012 kemarin, University of Glasgow menempati posisi 54 dunia di 100 universitas terbaik di dunia, dan berada di rangking 9 di UK menurut survey yang diadakan oleh QS World University Ranking.
Berjalan kurang lebih 1 kilometer dari halte bus,
kami memasuki sebuah bangunan dan aku yakin ini adalah flat yang ditempati Vian. Tubuhku makin menggigil karena hawa dingin makin menusuk tulang. Ryan mengajakku naik menuju lantai dua dan segera mengetuk sebuah pintu . Kusedekapkan tanganku di depan dada, bibirku sudah bergetar, Ryan menatapku khawatir tapi dia tahu aku masih marah dengannya.
“Hai.” Tiba-tiba seorang wanita yang aku yakin ini wanita yang kemarin meneleponku berdiri di ambang pintu flat. Cantik dan seksi dua kata itu kesan pertama saat melihatnya.
“Eh ini pasti kakaknya Vian, ya? Welcome, Vian masih di kampus, silakan masuk,” ucapnya mundur dan mempersilakan aku dan Ryan masuk.
Ryan menyeret travel bag-nya dan aku dengan ragu melangkah masuk.
”Hai, aku Sonia,“ sapanya lalu mengulurkan tangan ke Ryan dan kemudian ke arahku. Ryan menatapku bingung, tapi aku tak meresponnya.
“Ini pasti istri kak Ryan, ya? Sisca?“ sapanya manja ke arahku.
Aku hanya menjabat tangannya dan acuh kepadanya. Biarkan saja siapa dia dengan bebas berada di flat SUAMIKU.
Hatiku terasa memanas saat menyadari dia dengan lincah bergerak ke arah dapur seperti sudah mengenal flat ini. Air mata sudah menggenang di pelupuk mataku. Bunda, aku ingin pulang saja.
“Bisa gunakan kamar sebelah Vian kalau kalian mau beristirahat nanti aku bisa tidur di sofa,“ ucapnya lagi saat aku mulai duduk merebahkan diri di sofa.
Ryan masih berdiri dan tampak mengawasi wanita itu.
“Kau siapanya, Vian? “ Tiba-tiba dia bertanya kepada Sonia membuat wanita itu mengangkat wajahnya dari kesibukannya membuat minuman.
“Aku sahabat Vian dari dulu, dan kebetulan kami mendapat beasiswa yang sama di sini jadi untuk menghemat biaya aku meminta Vian untuk satu flat denganku lagipula aku akan lebih aman jika ada dia menjagaku.“
DAMN!!!
Kenapa hatiku terasa perih saat ini, air mataku benar-benar tak bisa kuhela lagi dan meneteslah di pipiku, kuusap dengan cepat tapi Ryan sudah melihatnya.
”Line, are you okay?“ bisiknya lembut.
Aku hanya mengangguk dan beranjak dari dudukku,
”Aku lelah,“ ucapku ke arah Sonia dan Sonia menunjuk kamar di depanku.
“Istirahat, Kak, aku sudah bersihkan,” ucapnya ramah. Tapi aku langsung masuk ke dalam kamar, sudah tak tahan dengan semuanya. Aku langsung menghambur ke kasur yang ada di depanku tak kupedulikan baju dan sepatuku yang kotor. Saat ini aku hanya ingin menangis dan menangis.
Kurasakan sebuah kecupan hangat mendarat di keningku dan tiba-tiba tubuhku terasa hangat. Kubuka mataku yang terasa sangat berat. Entah tadi menangis berapa lama, tubuhku terasa pegal semua.
“Sayang ...“ Itu suara Vian yang langsung membuatku reflek menoleh ke arah samping dan kini kudapati dia berbaring di sebelahku dengan hanya mengenakan sweater warna putih dan celana piyamanya tapi terlihat begitu tampan.
“Hey ... Cinta menangis?“ tanyanya bingung melihat wajahku yang sembab dan sisa-sisa air mata yang telah mengering.
Tapi saat tersadar aku segera menjauhkan tubuhku.
Menatapnya penuh kebencian. “Aku ingin pulang ke Indonesia.” Vian terkejut.
Share this novel