Bab 24

Romance Completed 25593

BAB 24

Pagi ini indah dan laut terlihat memukau. Sinar matahari terasa hangat, meskipun belum sehangat siang hari. Pagi ini Vian langsung mengajakku pergi dari flat. Aku yang tak tahu akan dibawa ke mana, menurut saja. Aku tahu perasaannya benar-benar kacau setelah mendengar kabar dari mama. Entahlah aku sendiri pun masih belum bisa berpikir. Pulang ke Indonesia tentu saja itu saat yang kutunggu bisa berkumpul lagi dengan bunda dan Evan. Tapi kalau pulang dan harus berpura-pura di depan Ryan, tentu saja aku tak bisa. Apalagi hatiku sudah tertinggal di sini, di Glasgow ini. Sudah diikat erat oleh suami berondongku ini. Aku juga tak menyangka bisa berubah sedemikian cepat tapi aku tak bisa sangkal lagi kalau aku sudah jatuh cinta kepada bocah ini. Karma mungkin dulu aku yang menolaknya mentah-mentah kini berbanding terbalik dengan perasaanku yang tak ingin jauh darinya.

“Indah, ya?” Vian mendekapku erat dari belakang, menempelkan tubuh mungilku ini ke dada bidangnya.

Dagunya bisa kurasakan menempel di atas kepalaku. Vian mengajakku ke pantai yang entah namanya sendiri pun aku tak tahu. Katanya ingin melepas penat. Meski udara terasa dingin tapi dalam dekapan Vian pun aku sudah merasa hangat.

“Heemmm, kau sering ke sini?’

Vian mengangguk tapi kemudian menggeleng.

“Tak sering, Mbak, hanya kalau aku merasa jenuh.”

“Ehm kalau aku sebenarnya takut berada di pantai begini, takut kalau tiba-tiba ada tsunami,” celetukku membuat Vian terkekeh dan membalikkan badanku.

Otomatis tubuhku sekarang berada dalam dekapannya, dan Vian mengecup pipiku dengan gemas.

“Vian ihhh, malu,” teriakku karena dia mencium pipiku bergantian.

“Sayangku lucu dan menggemaskan,” ucapnya sambil menempelkan hidungnya di hidungku.

Degup jantungku makin kencang, entah sejak kapan aku merasa sangat canggung saat berada dekat dengan Vian seperti ini.

“Yan, malu.”

“Kenapa malu, kita suami istri biarlah aku tak peduli lagi pula di sini banyak yang lebih vulgar dari kita,” ucapnya santai lalu mencium pipiku lagi. Haduh bocah ini benarbenar membuatku keki setengah mati.

“Ehm, Yan kita berada di mana sih?” Aku benar-benar penasaran dengan tempat ini karena Vian mengajakku naik bus dan menyeberang dengan kapal feri untuk sampai di sini.

Lalu sebelum sampai di sini aku diajak naik mendaki sebelum akhirnya sampai di puncak dan terlihat pemandangan yang menakjubkan seperti ini. Betah rasanya di sini, di ketinggian dengan pemandangan laut lepas di bawahnya.

“Kita di Dunoon, Mbak, indah kan serasa di zaman kerajaan, ya?” Vian menunjuk bangunan-bangunan yang menyerupai castle di depan kami.

Vian mengajakku duduk di hamparan rerumputan yang bisa untuk berjemur matahari. Dunoon kota yang cantik dan damai, cocok sekali suasananya untuk melepas lelah, menimba lagi energi yang surut, dan juga menghadiahi diri sendiri dengan pemandangan yang memanjakan mata.

Kami akhirnya berkeliling, mengambil gambar

dengan kamera SLR yang dibawa Vian. Pergi ke Town Centre-nya, demi melihat seperti apa suasananya. Dan akhirnya mampir ke supermarket untuk membeli buah, minuman dan makanan. Tapi di sini susah mencari toko makanan seperti penjual kebab halal, bahkan susah mencari fish and chips.

Akhirnya Vian mengajakku kembali duduk di tepi pantai dengan camilan di tangan, serta angin yang sesekali berhembus kencang.

Vian dengan manis membenarkan rambutku yang berterbangan tertiup angin dan sekali lagi dia mendekapku erat dari belakang.

Kulihat Vian menatap jam tangannya dan menghela napasnya.

“Jadwal bus terakhir yang akan kembali ke Glasgow, Mbak,” ucapnya sedikit kecewa.

“Ehm I wish I have more hours again here,” ucapku sedikit canggung dengan bahasa inggris yang kumengerti sedikit.

Vian menatapku lekat, lalu kemudian tersenyum. Dia mengambil ponselnya dan mematikannya, lalu merogoh tasku dan mengeluarkan ponselku dan mematikannya juga.

“Hei apa yang kau lakukan ?” tanyaku bingung.

Vian menyeringai.

“Aku ingin menginap di sini, Mbak, denganmu, biarlah lupakan sejenak masalah kita, tak peduli dengan semuanya aku dan kau di sini hanya berdua bagaimana?”

“Maksudmu kita menginap? Tapi nanti kalau mama menghubungi?” tanyaku ragu, tapi Vian sudah menarikku ke dalam pelukannya.

“Untuk saat ini dunia milik kita berdua, Mbak, aku ingin menikmati kebersamaan kita ini, please,” bisiknya di telingaku dan aku akhirnya mengangguk mengiyakan.

*****

Vian akhirnya membawaku menyusuri pantai, ngobrol dengan orang lokal berlama-lama. Orang Skotlandia itu hampir sama dengan orang Indonesia, suka lama-lama mengobrol dan bercerita. Aku kagum dengan kemampuan Vian berbicara, aku hanya sesekali menimpali saat mengerti sedikit tentang apa yang mereka bicarakan. Kemampuanku bahasa inggris memang masih perlu banyak diasah meskipun aku juga mengerti. Menjadi resepsionis hotel dulu juga diwajibkan bisa berbahasa inggris dengan lancar, beruntung aku sudah pernah mengikuti les bahasa inggris dulu sesaat setelah lulus sekolah.

Ketika hari beranjak sore, Vian mengajakku menyewa sebuah guest house. Di sini terhampar deretan hotel dan penginapan yang terletak persis di tepi pantai. Banyak keluarga yang duduk-duduk di taman hotel asyik bercengkerama.

Setelah membasuh tubuh, aku kebingungan karena aku tak bawa baju ganti.

“Yan, bagaimana ini tak ada baju ganti,” ucapku saat keluar dari kamar mandi dan hanya mengenakan kimono mandi saja.

Kulihat Vian tersenyum dan menghampiriku.

“Tak perlu baju, Sayang.” Vian merengkuh tubuhku dan tiba-tiba mendorongku ke arah tempat tidur dan membaringkanku di atas kasur empuk ini.

“Yan ...”

Tapi Vian berbaring di sebelahku dan meletakkan

kakinya di atas kakiku dengan posesif.

“Yan,” ucapku gugup saat dia sudah mencondongkan

tubuhnya ke arahku.

“Sayang., aku sudah mendambamu begitu lama, bolehkah sekarang saatnya?” bisiknya lembut.

Matanya mulai menggelap oleh gairah. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan, tapi saat Vian mulai mencium leherku, aku benar-benar merasakan sensasi yang berbeda saat tubuhku menempel di tubuhnya. Dan menikmati perasaan senang yang ditimbulkan akibat ciuman Vian. Saat bibir Vian bergerak ke area sensitif telingaku, aku mulai merasa panas karena gairah.

Aku tak menolak saat Vian melepaskan ikat kimonoku, dan menurunkan kimonoku terus sampai ke pinggang dan sampai kimono itu jatuh tergeletak di lantai.

Panas yang memancar dari perapian yang berada di dalam kamar hotel ini, menghangatkan tubuhku dan Vian. Tapi aku bisa merasakan jenis panas lain saat Vian tiba-tiba menciumiku dengan penuh nafsu.

Aku hanya mendesah dan mengalungkan tanganku untuk melingkar di lehernya. Dan membalas ciuman Vian tanpa ragu.

Baru pertama kali ini aku merasakan sensasi menggoda seperti ini. Tubuhku bahkan menempel erat di tubuh Vian. Aku sedikit kecewa saat Vian melepas pelukannya.

Vian tiba-tiba melepas kimono handuknya dan aku terpana melihat pemandangan yang terpampang di depanku.Untuk pertama kalinya aku melihat Vian secara utuh, kaki yang panjang, otot-otot kuat yang menghiasi lengan dan dadanya.

Vian menyeringai ke arahku membuatku merah padam.Bodohnya aku dia pasti menyadari kekaguman yang dipancarkan dari mataku.

“Aku, aku tidak bermaksud menatap seperti itu,” ucapku terbata menahan malu.

“Apa Sayang belum pernah melihat tubuh pria sebelumnya,” tanyanya lembut dan berbaring di sebelahku.

Aku hanya mengangguk dan kini kudengar Vian terkekeh.

“Betapa polosnya istriku ini,” ucapnya tapi langsung menciumi wajahku.

“Sayang sangat indah, seksi dan cantik,” bisiknya membuat buluku meremang akan rayuannya itu.

“Yan, tapi... aku takut,” ucapku tiba-tiba menghentikan cumbuannya pada wajah dan leherku.

Vian tersenyum lembut dan mengusap rambutku.

“Aku akan lembut, Sayang, jangan takut,” bisiknya.

Perlahan mata Vian menjelajahi tubuhku yang sudah polos di depannya. Tangan Vian menelusuri arah pandangan matanya begitu pun juga bibirnya.

Aku jadi melupakan rasa malu yang ada di dalam diriku saat merasakan seluruh bagian tubuhku bersorak senang.

Saat Vian tiba-tiba merentangkan kedua kakiku dan bergerak ke atas tubuhku, aku akhirnya siap. Vian mencari bibirku dan melumatnya dengan lembut.

Aku mengaitkan jariku di antara helaian rambut pirang Vian yang tebal, menarik bibir Vian, turun mendekati bibirku sendiri dan tiba-tiba mencium bibirnya dengan hasrat yang tidak kuketahui. Pada saat bersamaan Vian mulai mencari-cari jalan masuk.

Tapi aku langsung terhempas dan tersadar. Kudorong tubuh Vian membuat dia menatapku bingung. “Yan, aku benar-benar takut,” bisikku.

Dia kembali mengecup bibirku lembut.

“Aku akan perlahan percayalah,” ucapnya dengan suara seraknya.

Dia kembali mencumbuku, mengirimkan gelenyar panas dalam tubuhku.

“Ahhhhhhhh,” erangan lolos dari mulutku saat Vian mulai menyentuh area paling sensitif di bawah sana.

Membawaku terbang melayang ke langit ketujuh, rasa ini benar-benar luar biasa. Padahal dia hanya melakukan dengan jarinya.

“Kau sudah sangat basah,” bisiknya lalu menempatkan kembali tubuhnya di antara kakiku .

“Aku coba ya, Sayang,” bisiknya lagi.

Aku hanya mengangguk patuh, tapi ketika dia mulai menempelkan miliknya, dan ingin mendorongnya .

Aku benar-benar ketakutan lagi.

Berkali-kali aku tarik tubuhku, mencoba menghindari dari invasinya itu .

“Sayang, ya sudah kalau memang belum mantap, aku tak akan memaksa,” ucapnya lembut dan menciumku lagi. Tapi tetap mencumbuku dan membuatku akhirnya merasakan sensasi yang luar biasa. Gelombang kenikmatan bergulung-gulung menerpa tubuhku. Sesaat kemudian kurasakan Vian juga menegang dan membiarkan semua benihnya membasahi tubuhku dan juga pangkal pahaku.

“Maaf membuatmu kotor,“ bisiknya lembut .

Tubuhku masih menggelenyar sisa orgasme, saat dia tiba-tiba menggendongku.

“Yan, mau apa?” pekikku kaget.

“Membersihkanmu di kamar mandi, Sayang,” ucapnya membuatku tersipu malu.

*****

Aku menjadi tersipu malu mengingat kejadian semalam, hanya melakukan itu, belum melakukan percintaan yang sebenarnya sudah membuatku kehilangan muka di depan bocah ini.

Pagi ini kami akhirnya kembali ke Glasgow dengan Vian yang selalu menggenggam erat tanganku dan menciumi pipiku. Dia sangat bahagia nampaknya.

“Sayang kau masih perawan ya berarti ahhh, kapan aku bisa menerobosnya,” bisiknya manja saat kami baru saja turun dari bus yang membawa kami kembali ke flat. Kucubit perutnya membuat dia menyeringai.

“Dasar mesuuumm.”

Vian tergelak dan membuka pintu flat tapi pemandangan di depan kami membuatku terkejut.

“Dek, dari mana saja kalian? Pagi ini juga Mama, masmu dan Papa akan kembali ke Indonesia juga Aline ikut bersama kami,” ucap Mama yang langsung membuatku limbung.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience