Kepergianmu membuat hidup ini terasa berhenti berputar, aku tak tahu harus bagaimana. “Aku menyanjungmu penuh cinta dan kasih. Kau berharap kelak aku mampu menggantikan posisimu, mampu membanggakanmu lewat prestasiku. Namun akankah ibu mampu melihatku saat ini. Aku tak kuat dengan kelakuan ayah yang setiap hari seperti macan yang mencari mangsa. Adikku kini tengah sakit. Rina tak mampu apa-apa Bu..” lirih hati kecilku yang tengah memandangi wajah lucu adikku yang sudah terpasang impus.
Aku teringat lagi akan dirimu yang dulu juga terpasang infus di rumah sakit ini. Rina kasihan melihat adik sakit sesak. Takut kejadian yang pernah ibu alami terulang lagi. Batinku terus berucap pada relung bawah hatiku yang tak kunjung melihat kebahagiaan. Aku teringat lagi akan wanita kurus berparas cantik yang ku panggil tante saat berlari mencari ruang ibu. Akankah ia masih berada di sini? Lirih hatiku terus bertanya-tanya dan berharap ia masih di sini sebagai jawaban hatiku yang ingin merasakan pelukannya lagi seperti pelukan ibu.
Aku berjalan menyusuri ruang demi ruang yang akhirnya aku masih hafal dimana wanita itu berada. Aku melihatnya lagi, dan ternyata ia masih mendengar kata batinku. Ia tahu aku tengah berada di ambang pintu. Seperti biasa ia memberikan senyum yang begitu menawan padaku, dan tangannya yang putih dan lembut tak berat diulurkan padaku. Aku pun berlari sambil menangis dan tanpa sengaja aku memanggil dengan panggilan ibu.
“Ibuuu, aku merindukan dekapanmu. Aku ingin Ibu hidup bersamaku, aku tak kuat menanggung beban ini. Aku masih kecil Bu. Aku ingin Ibu ikut ke rumah.” Suaraku di respon oleh wanita itu, ia memberikan lantunan suara yang begitu merdu. Perlahan namun memberiku kesejukan yang sangat mendalam.
“Ibu akan selalu berada di sampingmu Nak, Ibu akan selalu menjagamu di setiap mimpi indahmu di kala tidur. Memberikanmu sejuta kebahagiaan yang engkau inginkan.” ucapannya sungguh membuat hatiku tergetar, suaranya yang begitu sama dengan ibu.
Belaiannya yang kini ku terima begitu nyaman seperti ibu membelaiku. Isak tangisku pun reda mendengar suaranya yang lembut. Aku merasa malu dan tersipu mengakui tante itu sebagai ibu, aku langsung berlari menuju ambang pintu. Dan berucap padanya sembari meneteskan air mata, “aku akan kembali, semoga kau masih di sini tante, maaf jika aku memanggilmu Ibu.” Aku berlari sembari mengingat kenangan bersama ibu, yang kini telah tenang di alam sana seperti kata Ayah.
Tiba-tiba ayah muncul di pintu kamar tempat adik dirawat. Ayah sepertinya ingin memukuliku lagi, dan menyuruhku untuk berhenti sekolah. Wajahnya seperti macan yang siap memangsa buruannya. Ayah tak seperti biasanya di kala ibu masih ada, ia begitu baik dan tahu apa yang aku inginkan. Namun sekarang, mungkin ayah tak terima akan semua ini. Ayah sepertinya juga tak sanggup kehilangan ibu.
“kau ikut Ayah pulang sekarang, cepaaat!!” bentak ayah sambil menyeretku ke luar. Aku tak kuat menahan cengkeramannya hingga aku jatuh dari kursi.
“untuk apa Yah, Adik Lia masih sakit, siapa yang menjaganya?” lirihku dengan sisa tangis yang mulanya reda terpaksa ku keluarkan lagi.
“ikut saja, ada yang mau Ayah katakan.” ujar ayah menimpaliku.
Orang-orang di sekitar halaman rumah sakit semuanya heran melihat bapak yang begitu ganas menyeretku dengan paksaan. Entah apa yang akan terjadi setelah aku sampai rumah dan apa yang ayah akan lakukan lagi padaku. Begitu banyak derita yang ku alami setelah ibu tiada. Aku merasakan beribu siksa dan kepedihan, termasuk dengan adikku. “duduk di sini, jangan ke mana-mana!” pinta ayah padaku. Aku hanya mampu merintih dengan kepedihan yang mendalam. Begitu kasarnya bapak menyeretku pulang meninggalkan Lia yang saat ini sendirian di rumah sakit.
“Rina, tatap mata Ayah.” Ujar ayah.
“Iya Ayah, apa yang Ayah mau tunjukkan pada Rina?” ucapku membalas.
“Ayah mau kau menikah dan berhenti sekolah.” ucap ayah.
Deg.. bayangan yang aku takut-takuti selama ini benar adanya, padahal aku masih duduk di bangku SMP. Aku ingin sekali sekolah seperti teman-temanku. “Apa Yaaah, Rina masih kecil, apa mampu nanti membahagiakan calon suami Rina? Ayah.. tolong pikirkan dulu rencana Ayah, Rina sudah banyak tersiksa oleh sikap Ayah. Siapa yang akan menjaga dek Lia jika Rina menikah nanti, dan suami Rina tak mengizinkan Adek Lia untuk tinggal bersamanya.” Ayah sepertinya tak peduli dengan kata-kata yang ku ucapkan tadi sehingga ayah bersikeras untuk menikahkanku dengan pria yang belum ku kenali.
“Ayah sendiri yang akan merawat Lia, Ayah tak punya apa-apa lagi untuk merawat Lia dan membiayai kamu sekolah Nak,” ucap ayah sembari meneteskan air mata.
Kini ku kembali melihat wajah ayah yang bening dan bola matanya yang agak memerah kembali meneteskan air matanya. Aku tak tahan dan langsung memeluknya.
“Iya Yaaah, Rina akan turuti perintah Ayah. Rina mau menikah dengan pria pilihan Ayah, Rina tahu pilihan Ayah pasti terbaik untuk Rina.”
Hari itu juga aku dinikahkan dengan laki-laki yang bernama Ayarif, memang Ayarif sepintas yang aku lihat begitu tampan. Namun akankah aku mampu membahagiakannya dengan umurku yang masih kecil ini, dan akankah ia bersedia menerima kehadiran Lia di dalam kehidupannya. Aku terus memikirkan kehidupanku yang dulu ku bayang-bayangkan kini menjadi kenyataan. Setelah akad nikah selesai, aku ingat tentang nasihat ibu.
“Nak, jika kamu kelak telah menikah, kamu harus memakai kerudung ketika ke luar rumah dan melepasnya jika suamimu menyuruh.” Oh ibu, nasihatmu kini kan ku laksanakan. Aku langsung memakai jilbab untuk pergi ke rumah sakit menjemput adik Lia yang sendirian di ruangan yang penuh dengan bau obat-obatan itu. Ayah lebih memilih mengurung diri di kamar dia tak mau mengantarku. Aku duduk di teras menunggu siapa yang bersedia mengantarku ke rumah sakit, jarak rumah sakit terlalu jauh dan aku pun tak mempunyai ongkos untuk pergi ke sana.
“Ayah tak mau mengantarmu? Mari aku antar jika Adik bersedia” ujarnya dengan penuh kesejukan. Suaranya mengagetkanku dalam renunganku yang tengah menutup wajah dengan kedua tanganku, menggetarkan seluruh tubuhku. “oh Tuhan, sungguh merdu suaranya mengajakku untuk pergi bersamanya.” gumamku dalam hati, hingga aku terbata-bata menerima ajakannya.
“ii, yaa. Aku bersedia Kak” balasku.
Share this novel