perjalanan hati

Romance Completed 786

Riana, Kiara, Dan Naina adalah seorang Santri yang amat penurut. Namun, perubahan itu terjadi ketika ketiganya terjerat Kisah Asmara dengan santri Putra. Yang akan membawa mereka terperosok kedalam lubang Hukuman.


Langit fajar tampak cerah. Bintang berkerlap-kerlip. Bulan tidak terlalu terang. Kiara,Riana, Dan Naina baru saja pulang dari Mushola. Mushola pondok tak jauh dari asrama putri. Hari ini hari Jumat, sekolah libur. Dan digantikan dengan aktivitas pondok seperti halnya Ro’an. Ro’an adalah sebutan dari jumat bersih. Jadi hari jumat ini santri putra dan santri putri bergotong royong membersihkan pondok. Pondok AL-Firdaus terkenal dengan pondoknya yang bersih, luas dan Adem. Orang yang masuk kepondok Al-Firdaus rasanya seperti terbius, hawanya yang sejuk, tumbuhan hijau yang membuat mata segar.
“Acie,, Silvi yang ndhodok sambil ngupas bawang tampak semangat rasanya kalau natap Kang Habieb. Hati-hati, mbak keiris tangannya.” Goda Lia sambil menikmati nasi goreng buatan pondok. Semuanya menatap Silvi bersamaan dan mulailah semuanya melontarkan kata-kata ejekan untuk Silvi dan Kang Habieb . Kang Habieb adalah adik dari pak Zamzuri. Kabarnya, Kang Habieb ini orangnya sangat dingin dengan perempuan. Tapi, ketika sudah akrab dengannya, ia akan menjadi seorang pemuda yang menyenangkan. Kang Habieb ini juga termasuk Khodimah yakni Abdi Ndalem pondok. Beliau selalu menyiapkan sarapan, makan siang untuk Abah Yai. Tak lupa ia juga membuatkan air hangat untuk Abah Yai mandi.
Di pesantren, kami semua bersahabat akrab. Akrabnya melebihi saudara. Orang-orang yang menyendiri akan dikucilkan dan dianggap tidak bisa bergaul.
Saat semuanya sedang repot membantu Mak Zaliha didapur, tiga orang santri putra masuk tanpa dikomando. semua santri yang tak berkerudung langsung bersembunyi dibalik tirai. Ketiga santriwan tersebut hanya menggelengkan kepala melihat tingkah para santriwati yang kalang kabut seperti maling yang bersembunyi dari polisi.
“Kalau masuk mbok ya salam dulu, Le.!” Kata Mak Zaliha lembut.
“Tau ini nyelonong aja.” Sahut Silvi.
“Eheheh.. Maaf, Mak. Lupa. “ jawab santri putra yang berambut tebal dan berkulit coklat.
“Ada apa kesini, Li?” Tanya Mak zaliha.
“Anu, Mak mau ambil nasi sama Lauknya tadi sudah habis.” Pemuda berkulit putih yang ternyata bernama Ali.
Mak Zaliha mengerrnyitkan dahi. Sesaat ia menghela nafas ia tahu porsi makan santri putra lebih banyak daripada santri putri. Apalagi, mereka baru bersih-bersih pondok. Wanita separuh baya itu menyuruh Naina untuk mengambilkan sebakul nasi. Saat hendak menyendok nasi, Kiara merasa ada yang memperhatikannya. Ia menoleh, dilihatnya seorang santri yang daritadi diam memperhatikannya. Tatapan yang begitu dingin namun Dalam. Kiara merasa tidak nyaman. nasi yang sudah ia sedok kini ia letakkan kembali dalam piring dan matanya mengalihkan pandangan kearah lemari kaca yang berisikan gelas-gelas dan piring-piring yang berjejer rapi.
“Kenapa,?” Tanya Riana .
“Aku udah kenyang, Ri” jawab Kiara berbohong.
Riana menatap sekeliling ruangan dan matanya bertemu dengan pemuda tersebut. Ia menghela nafas dan tahu mengapa Kiara tidak mau meneruskan makannya. Riana hafal dengan Kiara. gadis itu paling tak suka jika ada orang yang melihatnya makan. pemuda itu ternyata diam-diam mencuri pandang terhadap sahabatnya. Saat Riana menatap lekat, pemuda itu menunduk.
Naina keluar dan membawa sebakul nasi dan lauk dengan dibantu oleh Silvi. Ali menerima sebakul nasi itu sambil tersenyum kearah Naina namun Naina memasang wajah Datar.
“Makasih, Mak.!” Ucap Ali.
“Iya, sama-sama. oh ya nanti kamu sama Ridho pergi kepasar ya beli bahan buat masak nanti sore. nanti tak catetin apa aja yang perlu dibeli.”
“Asyiaaaap” kata Ridho.
Ketiga santri Putra itu pun keluar dari dapur. Kiara masih bisa melihat pemuda berbaju biru itu menatapnya. Adakah yang aneh dalam dirinya? apakah pakaiannya terbalik, atau kerudungnya yang tidak pas dengan warna bajunya? Ia terdiam.

***

Siangnya, Naina sedang mengerjakan tugas Diniyahnya yang belum selesai. Riana yang tau itu langsung mendekatinya.
“Naina, aku mau Tanya.”
“Nanya apa?”
“Kamu kan disini udah lama, sudah lima tahun. Kamu pernah gak jatuh cinta sama mas-mas santri?”
Naina menghentikan tulisannya.
“Pernah. Waktu masih Tsanawiyah.”
“Trus?” Riana semakin penasaran.

Naina menaruh pulpen dan meninggalkan pekerjaannya. Ia menceritakan peristiwa apa saja yang terjadi saat dikelas Tsanawiyah. Riana menyimak kisah Naina dengan serius. Ada cerita yang menarik, Lucu, Dan lain—lain. Naina menceritakan betapa ia sangat berharap pada seorang santri putra. Dan ia juga menceritakan bagaimana Kiara bersama mas-mas santri yang telfon hingga larut malam sampai waktu itu pernah kena jewer Mbak keamanan gara-gara sering ketangkep intip-intip di satir mushola. Ia juga menceritakan Kiara dulunya ahli mbobol. Kata Naina, Kiara tak pernah ketahuan mbobol pondok buat ketemu sang pujaan hati. Entah Ilmu apa yang digunakannya hingga mbak keamanan tak curiga dengannya. bahkan tak ada yang tau saat Kiara mempunyai sebuah tempat untuk keluar dari asrama.
Riana manggut-manggut ia tak menyangka Kiara yang seperti itu dulunya Ahli Mbobol. Tak terasa adzan Ashar berkumandang membuyarkan lamunan Riana .
“Udah Adzan, sana sholat!” suruh Naina.
“Kamu nggak sholat apa?” Tanya Riana sambil mengernyitkan dahi.
“Aku ‘Lampu Merah’ ” Naina meringis.
Riana pun beranjak pergi meninggalkan Naina, saat di lorong Riana bertemu Kiara.
“Hai, mbak Ahli Mbobol” sapa Riana setengah berbisik.
Kiara yang mendengar itu langsung tertegun. Ia mendekatkan jari telunjuknya ke bibir Riana . Gadis itu tersenyum. Kiara menoleh kanan-kiri berharap tidak ada yang mendengar Riana mengatakan panggilan tersebut.
“Dari mana kau tau?” Tanya Kiara.
“Naina bercerita bahwa kau ahli dalam membobol Pesantren ini. Kau bahkan sampai berani keluar sampai larut Malam. Jalan-jalan kemana ,sih sampai larut malam? Apa jangan-jangan…” Riana menaikkan alisnya. Kiara menggeleng sebelum ia membuka mulut, Mbk Novi meneriaki mereka agar cepat ambil wudhu dan pergi ke Mushola.

***
Selesai Sholat, semua bersiap-siap untuk pergi sekolah Diniyah. Di Kelas, Kiara dan Riana sedang berbincang-bincang mengenai masa-masa Tsanawiyah. Riana tak pernah menyangka kalau Kiara nakalnya seperti Santriwan.
“Jadi, sekarang apa kau tak ingin jatuh Cinta lagi?” Tanya Riana .
“Entahlah, aku masih lelah. Sudah cukup hati ini ditambal terus kayak Ban bocor.” Canda Kiara.
Keduanya pun cekikikan. Pak Ari yang sedang menerangkan memberi isyarat untuk diam. Mereka pun menunduk sambil tersenyum. Saling Tunjuk satu sama lain.
***
Malamnya, di Asrama santri Putra Tepatnya Kamar Sunan Kalijaga. Kamar Sunan Kalijaga terdapat 20 orang yang didalamnya rata-rata kelas Dua Aliyah. Terlihat Ali, Damar, dan Ridho yang sedang serius mengerjakan PR Sejarah Indonesia.
“Hadeh, Sumpah aku ndak ngerti Blass, Rek.!” Ridho menggaruk kepalanya pertanda bingung.
“Tulisannya benar-benar Kecil. Banyak kayak Koran.” Ali ikut mengeluh.
“Sudahlah, Rek. Terima saja, lagian ini juga kewajiban kita sebagai Pelajar, Toh.” Sahut Damar sambil makan Snack.
“Gayamu. Padahal kamu sebenarnya juga gitu. Sudahlah jangan munafik.” Ujar Ridho.
Damar yang mendengar itu tersenyum kecut. Memang diantara mereka yang paling taat, takwa, berakal, dan beramal Adalah Damar. pemuda berbaju merah itu selalu terlihat dingin di Luar tapi, saat bersama teman-temannya Damar lebih suka bercanda, senyum yang mengembang dibibirnya membuat dia semakin manis jika dilihat.
Jam menunjukkan pukul 23.00 semua sudah merajut mimpi masing-masing. Tapi lain dengan Ali, ia malah duduk sendirian di Depan kamar. Ia menengadah ke langit melihat bintang bertabur indah dengan bantuan sinar bulan yang terang. Dalam bayangannya, Ali teringat Naina. Ia merasa ada sesuatu dalam dirinya tapi entah apa. Ia merasa ada getaran hebat saat bertemu dengan gadis itu. lamunanya Buyar saat Damar menepuk pundaknya.
“Heh,. Ngapain disini?” Tanya Damar penasaran.
“Eh, ndak kok. Cuma lagi pingin liat pemandangan malam hari.” Jawab Ali berbohong.
“Dari lamunan mu tadi sepertinya kau sedang memikirkan sesuatu. Hayo.. sedang mikirin apa?” Goda Damar.
“Aku teringat Dia,!.”

Damar mengernyitkan dahi tanda tak mengerti. Ali akhirnya menceritakan semuanya pada Damar. pemuda itu tersenyum. Ia merasa ia berbeda dengan Dua sahabatnya itu.
“Tadi sore, Ridho cerita tentang Riana. Katanya dia suka, tapi entah kapan ia akan mengungkapkan perasaannya pada gadis itu.” kata Ali.
“Biarlah Waktu yang menyelesaikan tugasnya.” Ujar Damar sambil menatap Bintang-Bintang.
Ali menatap lekat Damar. cara bicara Damar yang tidak biasanya membuat Ali bertanya-tanya. Apakah Damar juga merasakan hal yang sama terhadap ia dan Ridho.
“Kamu gak Ada niatan suka sama seseorang, Mar?”
“Ehehe.. aku mah mana ada yang mau. Aku Cuma cowok pasif yang tak Mengerti apa itu cinta. Tapi, ada seseorang yang tengah mengetuk pintu hatiku. Entah dia itu nyata apa mimpi. Yang pasti ada setitik rasa yang tak biasa ketika aku melihatnya.” Jelas Damar membuat Ali melongo. Damar menampar pipi Ali. Ia meringis kesakitan. Damar tertawa lepas.
“Ya, mau gimana lagi. Cinta itu bisa terjadi kapan saja. Suatu saat nanti kau pasti akan merasakannya.” Ali beranjak meninggalkan Damar yang diam mematung di Depan Kamar.
Di tengah gelapnya malam, Damar merasakan hembusan angin malam membuatnya tenang ia memejamkan mata dan terlintas wajah seorang Gadis yang cantik, tersenyum kearahnya. Dan satu nama yang terucap dari Bibirnya “Kiara.”

***


Pagi Hari, semua santri putri sedang sarapan tentu setelah mereka selesai mandi dan berpakaian dengan rapi. Audi yang juga termasuk Abdi ndalem masuk kedapur sambil meneriaki nama Naina. Semua yang mendengar itu langsung menoleh bersamaan.
“Nai, Ini ada titipan dari Kang Santri.” Audi menyodorkan kertas Origami yang terlipat rapi berwarna Kuning. Naina menerimanya sambil memasang wajah bingung.
“Aseek, Naina dapet Surat Cinta!!” Goda Ocha yang sedang mencuci tangan.

Semua bersorak-sorak mengejek Naina dengan gelak tawa. Namun, lain dengan Mbak-Mbak keamanan yang sedari tadi melihat peristiwa itu. tak juga tersenyum tak juga cemberut expresi wajah datar itu selalu diperlihatkan.

Dikamar, semua angkatan kelas dua aliyah berkumpul merubung Naina. Mereka penasaran ingin melihat isi dari surat tersebut. Naina membukanya pelan-pelan sambil baca bismillah, dalam hati berharap itu bukan surat dari PLN. Jantung Naina terasa berdetak kencang ketika membaca surat tersebut.
Kiara dan Riana saling pandang ketika Naina menutup mukanya dengan kedua telapak tangan. Kiara merebut surat yang berada disamping Naina.
“ Kiara, kembalikan!” seru Naina.
“Sssst… Aku hanya ingin tau apa isinya sampai mukamu merah begitu.” Kiara membacanya dengan serius. Mata gadis berkerudung abu-abu itu terbelalak. Mulutnya menganga dengan otomatis.
“Jadi, kamu disukai sama…” belum selesai Kiara bicara Naina membungkam mulutnya.
“Ssst,,. Jangan keras-keras nanti kalau ketahuan Mbak pengurus bisa habis aku.” Jelas Naina.
Kiara dan teman-temannya tersenyum penuh makna.
“Aseek.. Aciee. Naina langsung terima aja, Nai. Lagipula kamu juga sudah tau orangnya.” Kata Lia.
“Ojok suwe-suwe ! diterima aja.” Sahut Ela .
Naina terdiam ia menghela nafas. Ia mengingat kembali tiga tahun yang lalu bersama seorang pemuda. Ia tak mau lagi sakit hati untuk yang kedua kalinya. Dan, tak lama tangan Naina bergerak merobek surat tersebut. semua yang melihatnya berteriak histeris.
“Apa yang kamu lakukan?” Tanya Anna tidak percaya.
“Aku belum siap, Rek. Aku belum siap jatuh cinta dan sakit hati yang kedua kalinya. Lagian disini aku hanya ingin menuntut ilmu. Toh, bukan macam-macam apalagi sampai mencari jodoh. Jodoh itu milik Alloh tak tau kapan bertemu.” Jelas Naina.
Semua memasang wajah lesu. Mendengar penuturan itu, Kiara angkat bicara.
“Jika dia memang ditakdirkan untukmu, apa mungkin kau akan lari dari apa yang telah direncanakan oleh Alloh?”
Semua memandang Kiara. Kiara menepuk pundak Naina.
“Nai, iling ! tresno kuwi jalaran soko kulino kau akan menyukai nya bila kau sudah terbiasa dengannya. Ketakutan mu akan kalah oleh cinta-mu, kawan. Anggap saja surat itu adalah sebuah perkenalan kalian. Aku yakin, suatu saat nanti Cinta akan merubah segalanya.”
Kiara tersenyum menatap Naina yang menunduk lesu.
“Aduh, kamu mikirin apa,sih ?” Kiara memeluknya.
“Aku takut, Ki.” Jawab Naina.
***

Malam itu, Kiara mengajak Naina untuk keluar mengambil air wudhu lalu Sholat Tahajud. Digelapnya malam, dengan ditemani oleh ribuan bintang, Dua gadis itu tengah memohon kepada sang Pencipta. Menengadah sambil meneteskan air mata mengingat kembali kesalahan mereka yang telah lalu. Kiara yang sedang membaca Al-Qur’an tiba-tiba berhenti ditengah ayat. Entah mengapa bayangan Damar terlintas dipikirannya. Ia segera mengucapkan Istigfar dan melanjutkan bacaan-nya, membuang bayangan itu.

Sementara Dimushola, Damar dan Ali tengah memohon kepada sang Kuasa. Mereka berdoa untuk keselamatan mereka, dan orang tua mereka. Ali yang sedang khusyuk berdzikir, sementara itu tangan Damar menengadah meminta ampunan dari Alloh. Saat menutup mata Damar melihat sekelebat bayangan Kiara yang sedang tersenyum padanya. Damar membuka mata dua bulir air mata jatuh ke pipinya. Dalam hati ia berdoa.
Kau lah yang maha baik, Kau-lah yang maha Bijaksana. Jangan Kau buat pikiranku memikirkan selain diri-Mu ya Rabb.
Angin berhembus pelan menggoyangkan rumput-rumput disekeliling pesantren Al-Firdaus. Suara jangkrik terdengar nyaring, dimalam itu, diwaktu yang sama ke-empatnya berdo’a kepada sang Pencipta bumi dan langit beserta isinya. Ribuan Malaikat Melihat dan mengamini doa mereka.
***
Adzan subuh berkumandang, Damar terbangun meninggalkan mimpinya. Ia terdiam sejenak mengingat kembali mimpi yang membuat nya hampir meninggalkan kewajibannya. Ia bermimpi disebuah taman yang indah ia berjalan melihat betapa indahnya bunga-bunga yang mekar dengan sempurna serta banyak kupu-kupu yang mengelilinginya. Saat sedang menikmati pemandangan indah dibangku taman, seorang wanita cantik berjalan ke arahnya. Menyalaminya.
Wanita itu memeluk Damar dengan penuh cinta begitupun Damar. ia tak tahu mengapa ia sampai melakukan hubungan dengan wanita itu. dan saat itu juga terdengar lah Adzan subuh. Ia pun terbangun, nafasnya tersenggal, keringat membasahi tubuhnya, Ia merasa ada yang aneh pada dirinya. ia menghela nafas panjang
“Alhamdulillahilladzi Ahyana Ba’da ma amatana wailaihinnussur…” lirih Damar.
Ia pun pergi kekamar mandi membersihkan tubuhnya. Bagi Damar, ini pertama kalinya ia bermimpi seperti itu. Wanita Cantik itu Hampir membuat Damar meninggalkan Ibadah. Saat selesai mandi ia berpas-pasan dengan Rendy. Rendy yang duduk sambil membaca Al-Qur’an mengernyitkan dahi melihat temannya itu.
“Tumben, mandi pagi-pagi biasanya jam 5 kamu baru mau mandi. biasanya juga kamu ogah-ogahan buat keramas jam segini.” Damar terdiam. sesaat Mata Rendy membulat. Ia tahu apa yang baru saja terjadi pada teman-nya.
“Wohoho… ternyata temanku ini habis bermimpi indah.” Ledek Rendy dengan menaikkan alis.
“Ssst.. sudah lanjutkan saja mendaras Al-Quran, aku mau bangunin anak-anak.” Damar meninggalkan rendy yang diam dimushola.
Selesai sholat subuh, Ali, Damar, Rendy, dan Ridho tengah bersiap-siap untuk sarapan. Hari ini libur karna kakak kelas sedang mengikuti UAMBN.
“Dho, ayo! Kamu ikut makan apa ndak?” teriak Ali didepan pintu.
“Iya, sebentar! duluan aja aku masih nyisir.” Seru ridho didepan cermin.
Semua santri tengah sarapan di depan kamar Anak tsanawiyah. Lain dengan Ke empat pemuda itu mereka lebih memilih makan digubuk. Menurut mereka, tempat itu adalah tempat yang paling nyaman untuk makan, ngobrol, ngopi dan kegiatan yang lain. Tempat itu juga mengingatkan perkenalan mereka masuk ke pesantren Al-Firdaus. Disitulah mereka pertama kali bertemu, bercanda tawa.
“Rek, Menurut mu gimana kalau aku mencurahkan isi hatiku pada Riana ?” Tanya Ridho tiba-tiba.
“Ndak apa-apa, se. keburu diambil orang, loh.” Kata Rendy sambil menjejalkan nasi kemulutnya.
“Apalagi Riana itu santri putri paling cantik, kreatif, pinter pokoknya perfect, deh.” Jelas Ali.
“Enak e basa-basi apa langsung to the point ?” tanya Ridho lagi.
“Udah to the point saja. Masalah diterima atau tidak itu masalah mburi. “ ujar Damar.
“Bismillah kucoba dulu,ya!.”
“Iya, kalau Riana menerimamu berarti tandanya dia sakit mata.” Ledek Rendy.
“Huu.. koyok kamu ganteng-ganteng dewe ae.!( kayak kamu ganteng sendiri aja)” Ridho melemparkan sepotong tempe ke arah Rendy. Damar dan Ali yang melihat itu hanya geleng-geleng kepala. saat sedang seru-serunya bercanda, dari kejauhan Ali melihat Naina dan Riana berjalan kearah gerbang utama sambil membawa tas belanja. Sepertinya mereka akan berangkat ke pasar.
“Kalau mau nyamperin ya samperin aja kali,. Jangan Cuma bisa ngeliat doang.” Goda Ridho.
“Halah, mana berani aku. orang suratku yang waktu itu saja belum terbalas.” Ali menutup mulutnya. Ternyata dia menulis surat tanpa sepengetahuan teman-temannya tapi , rahasia itu terbongkar karna mulutnya yang tak bisa di rem.
“Widiih, ternyata aku sudah kelewat jauh dari Ali. Kalau begini caranya tak boleh kalah aku darimu ahahah..” Ridho menaikkan alisnya. Ali menundukkan kepala tanda malu. sementara teman-temannya tertawa lepas.
“Hei, ingat jangan sembarangan ngasih barang-barang ke santri putri nanti kalau ketahuan keamana, hancur kisah cinta kalian.” Damar memberi peringatan.
“Iya, iya, aku tau kamu dan Ali pengurus disini. tapi, apakah kau akan tega menghianati persahabatan kami?” mata Ridho yang semula tenang menjadi tajam. Damar hanya bisa terdiam.
“Terserah kalian. Aku hanya mengingatkan saja.”
“Suatu saat nanti aku akan membutikan bahwa rasa ketakutanmu akan kalah dengan rasa cintamu. Cinta yang akan menjadikan orang berani membhobol pondok ini. Ayo kita taruhan! jika ketakutan yang menang kau boleh mengadu pada pengurus keamanan tentang kisah cinta ku. namun, jika Cinta yang menang maka kau harus mengakui kalau kau suka pada seseorang.” Ridho menantang Damar dengan senyuman sinis.
Damar menatap Ridho tak percaya. Bagaimana Ridho bisa tau kalau ia sedang menyukai seseorang. Ridho melihat mata Damar yang terlihat begitu bingung.
“Sudahlah, kawan. Tak perlu panik begitu, dari wajah mu saja sudah terlihat kalau kau sedang menyukai salah satu santri putri di pondok ini. Ndak perlu tau aku dapet berita ini darimana. Aku temanmu, Damar. Kita sudah dua tahun berteman tak mungkin aku tak tau sifatmu yang sebenarnya.” Ridho tersenyum dan beranjak dari tempat duduknya meninggalkan ke tiga temannya. Ali dan Rendy pun menyusul, tinggal Damar yang masih terdiam merasakan angin yang berhembus sepoi-sepoi menyapu wajahnya.
“Aku memang menyukainya. Aku terlalu takut untuk jatuh Cinta, Dho.” Lirihnya.
***
Di dapur, Kiara sedang membantu Mak zaliha memotong-motong tahu untuk makan siang menu siang nanti lauknya semur Tahu. Tiba-tiba Kiara mendengar suara langkah kaki dari luar. Ia mendongak kan kepala dilihatnya seorang pemuda berdiri di ambang pintu membawa piring kotor. Mak zaliha yang tau itu ikut menoleh.
“Eh, Damar. ngapain berdiri disitu? Kayak patung selamat datang. Ayo, masuk!.” Damar tersenyum manis. Ia pun masuk dan duduk didepan Kiara yang sedang memotong Tahu. Damar terdiam Menatap Kiara. Kiara merasa ia sedang diamati ia merasa canggung. Mak zaliha yang tau itu tersenyum.
“Damar, Ada apa kesini?” Tanya Mak zaliha.
“Eh,, Em anu Mak ini Tadi Pak Zamzuri ngasih Uang Belanja..” Damar Tergugup.
“Oh Gitu, Toh. Bilang dari, Tadi. Eh, bentar, Ya. Mak Mau minta tolong, beliin Adem sari di warung Bu asih, gih!”
Damar mengangguk. Mak zaliha pun ke belakang mengambil Uang. Tinggal Damar Dan Kiara ditinggal sendiri. Tidak ada perbincangan Apa-apa. Damar tetap melihat Wajah Kiara. Entah kenapa ada perasaan Lain yang melanda Hati Damar. saking terpesonanya Ia tak tau kalau Mak zaliha sudah Datang.
“Damar!” Mak zaliha menepuk pundaknya.
“Astagfirulloh!! Eh.. Mak.”
“Kamu saya Panggil dari tadi gak nyaut-nyaut malah asyik ngeliatin Kiara. Ini uangnya!”
“Eh.. Iy..iya Mak.. Assalamualaikum..”
“Waalaikumsalam..”
Damar pergi meninggalkan dapur. Kiara mendongakkan kepala. Melihat Damar berlalu ia tersenyum.
“Hei, senyam-senyum..Suka, Ya?” Goda beliau.
“Eh..Enggak,Mak.” Kiara menunduk menyimpan senyumannya.
Sementara itu Riana dan Naina ingin pergi kepasar, saat dalam perjalanan, mereka berdua bertemu dengan Ridho dan Adid. Riana yang tau Itu, langsung tersenyum begitu juga Ridho.
“Did, Ada Riana , Samperin, Yuk!”
Ridho berjalan cepat menghampiri Riana . “Assalamualaikum..”
“Waalaikumsalam..”
“Mau kemana kalian berdua?” Tanya Ridho lemah lembut. Adid yang tau itu hanya nginyem setau Adid dikamar, Ridho adalah cowok yang Gasrak, petakilan. Tapi, setelah bertemu Gadis Ridho seperti orang Solo. Ngomong nya jadi lemah gemulai.
“Ini mau kepasar.” Jawab Riana .
“Mau di anterin, Nggak?” tawar Ridho. Mendengar Itu Naina dan Adid menoleh cepat kearah Ridho. Mata mereka membulat tak percya.
“Bo..Boleh!” kata Riana malu-malu. kali ini Naina dan Adid menganga permanen. Riana pun mengambil keranjang sayur dari tangan Naina.
“Nai, Aku aja yang belanja. Kamu Balik aja kepondok!.” Kata Riana enteng.
“ Ta.. tapi kalau Mbk Jessie Nanya gimana. Kan aku berangkatnya sama kamu!”
“Emm.. kamu Tunggu aja ditukang Laundry sama Adid. Aku cepet kok belanjanya.”
“Riana, aku pulang aja biar Naina yang nunggu.” Sahut Adid.
“Oh ya udah makasih ya..”
Mereka pun pergi berdua. Sementara itu Adid dan Naina menatap kepergian mereka dari jauh. Adid memelas menatap temannya yang sudah punya gebetan. Sementara Naina, ia berusaha menelan hawa nafsu untuk tidak iri dan dengki melihat pemandangan itu.
Sudah pukul 11.00 tapi Riana dan Ridho belum juga kembali. Naina kwatir kalau terjadi apa-apa. Pucuk dicinta ulam pun Tiba. Naina melihat mereka berdua jalan beriringan.
“Makasih, udah dianterin.”
“Iya sama-sama.”
Ridho pun berjalan masuk ke asrama dengan melambaikan tangan. Riana tersenyum manis. Naina yang melihat itu menyenggol sikunya.
“Udah puas jalan-jalannya.?”
“Udah, yuk balik.”
Naina memeriksa keranjang sayur. Ia mengorek-orek isinya.
“Riana, Kecap nya mana?”
“Hah?! Astagfirulloh .. aku lupa.”
“Aduh ,, bisa kena semprot Kang Habieb kita. Gimana ini?”
Riana memutar otak ia merogoh saku celananya. Terdapat uang 50rb. Ia dan Naina pun segera balik ke pasar untuk membeli Kecap. Sesampai di pondok Naina dan Riana ditegur oleh kang Habieb karna lama untuk pergi kepasar. Mereka pun meminta maaf atas kesalahan mereka. Dan Naina menyimpan rahasia atas peristiwa tadi.
Dikamar, Ridho loncat-loncat seperti kodok. Tak hanya loncat-loncat, teman-temannya pun jadi korban pelukan dan ciuman mautnya. Damar yang merasakannya segera mengusap pipinya yang basah karna Ridho.
“Asek!! Yuhu .. aaaa.. senangnya dalam hati.!!”
Mukhson yang baru masuk kamar, mendapat ciuman maut langsung menampar Ridho. Pemuda itu merintih kesakitan. Sebagai pelatih perguruan pencak silat, tamparan Mukhson lumayan membuat panas pipi. Semua yang tau itu tertawa puas. Tangan Mukhson mewakili semua teman-temannya.
“Kalau nggak ditampar Gak sadar!”
“Emang Ada apa sih sampe temen kita mendadak gila begitu?” Tanya Arfin yang sedang membaca buku.
“Temen-temen! Kabar gembira untuk kita semua..” kata Ridho
“KULIT MANGGIS KINI ADA EXTRA-NYA!!” Sahut semuanya.
“Serius ah! Langsung Nih, Cintaku diterima Sama Riana !!”
Damar dan Arfin yang mendengar itu spontan menyemburkan kopinya. Ali dan Rendi menatap Ridho heran.
“Kok bisa?” Tanya Ali.
“Bisa, Dong.! Kan tak kenal maka ta’ruf.”
“Kalian ketemuan ?” selidik Ali. Ridho langsung terdiam ia bingung mau menjawab apa. Sedangkan Ali masih menatap ia tajam. Ia tau kalau sebagian temannya itu pengurus. Bodohnya dia mengapa ia harus gembar-gembor. Ia memang ceroboh. Ia pun memutar otak untuk membujuk Temannya agar tak lapor pada Pak Zamzuri.
Ridho pun menceritakan awal kejadiannya. Ali masih memperhatikan raut muka Ridho. Ridho menceritakan semuanya dari awal sampai akhir.
“Pliss., jangan lapor ke pak Zamzuri ya... pliss” Ridho mengatupkan tangannya tanda memohon.
“Ya, kita semua gak akan bilang sih, tapi ada syaratnya” kata Damar.
“Aduh, kita kan sahabat masa kalian mau pake syarat-syaratan?.”
“Dimana –mana itu kalau mau lancar harus ada syaratnya. Ke dukun aja kalau mau sukses ada syaratnya. Ya gak Did?” ujar Mukhson. Adid mengangguk setuju.
“Ya kalau situ gak keberatan. Pajak jadian-nya, biasalah. Pecel lele pak Khoirul.” Kata Ali sambil mengusap-usap tangannya.
“Ya, deh. Aku sanggup. Untuk sahabatku apa pun yang terbaik.” Kata Ridho tersenyum.
Mereka pun menyalami Ridho sebagai ucapan selamat atas perjuangan cintanya. Begitu cepatnya Ridho bisa mendapatkan Riana. Ali melihat dimata Ridho penuh dengan kebahagiaan. Ia ingin merasakannya, entah kenapa tiba-tiba terlintas wajah Naina dipikirannya. Ia terdiam dan tersenyum.
***
Malam Harinya mereka bersiap-siap untuk pergi mengaji. Damar sudah siap denga baju abu-abu serta sarung warna hijau, Ali siap dengan baju koko berwarna orange, sementara Ridho sudah siap dengan kemeja ungunya.
“Berang-berang makan permen berangkat., Men!” Adid mengomando semua teman-temannya. Ketika dalam perjalanan. Ali melihat Naina melintas didepannya. Ali menatap tanpa berkedip. Arfin yang berjalan dibelakangnya nyaris menabrak punggung Ali.
“Astagfirulloh.. Ada apa, sih. Maen berhenti tengah jalan? Kayak tilangan aja.”
“Matanyo” lirih Ali. Sambil menatap Naina.
Arfin yang melihat pemandangan itu langsung mendorong kepala Ali.
“Mata Tuh Mata. Mau ngaji juga masih aja. Udah ayook!!” Arfin menggaet lengan Ali.
Awal mengaji, memang terkesan semangat tapi, lama-lama mereka menjadi mengantuk. Penjelasan pak Fuad yang seakan-akan seperti dongeng tidur untuk mereka. Ali berkali-kali menepuk pipinya, Damar berusaha menahan kantuknya dengan menggerak-gerakkan tangannya. Sementara Ridho yang dari tadi terbentur Mimbar Khitobiyah karna tak kuasa menahan kantuk. Pukul 20.00 mereka baru selesai.
Dikamar semua tengah belajar. Belajar dengan ditemani secangkir kopi buatan sendiri memang nikmatnya para santri. Ridho yang dari tadi senyum-senyum seperti orang gila. Membuat Rendy risih.
“Kamu kenapa,Sih? Udah gila, ya?”
Ridho hanya memanyunkan bibir dan pergi meninggalkan temannya itu. saat Ridho lewat dibelakang Damar, ia iseng mengintip apa yang ditulis Damar. bukan pelajaran melainkan sepucuk Surat Cinta. Ridho berdehem. Sontak Damar meremas kertas tersebut.
“Wooossh.,! Lihat Rek, Teman kita tengah belajar membuat surat Cinta!” Ridho meledek. Semua yang mendengar itu langsung menoleh pada Damar. pemuda berbaju hitam itu melotot kearah Ridho. Ridho tertawa lepas.
“Ngapain kamu?! kepo!” sungut Damar.
“Ingat! Jangan sembarangan kasih barang-barang ke Santri putri.. ” Ridho mengulangi kata-kata Damar yang terucap tempo hari. Damar yang mendengar itu segera pergi meninggalkan kamar. Ia berjalan tersungut-sungut. Sebenarnya ia tak marah pada Ridho. hanya saja ia kurang berhati-hati. Ia tak ingin perasaannya diketahui siapapun. Ia pun berjalan menaiki tangga dan menuju Aula.
Disamping Aula terdapat dinding yang tidak lumayan tinggi. Hal itu untuk membatasi antara Aula dan kebun belakang. disamping itu juga terdapat pohon pisang yang lumayan lebat. Damar mengambil daun pisang dan duduk bersandar pada dinding. Ia membolak –balikan tumbuhan yang berwarna hijau tua sambil menghela nafas. Tangannya yang sedari tadi memegang pulpen bergerak menulis diatas daun pisang tersebut.
Pagi harinya, seperti biasa Kang Habieb dan Audi membantu Mak zaliha. Gema lantunan Al-quran terdengar merdu ketika semua santri putri mengaji dipagi hari. Audi yang sedang memotong Bawang melihat Kiara melintas ia berseru. Kiara yang selesai mengaji mendengar namanya disebut, ia mengehentikan langkahnya.
“Ki, ini titipan dari kang Santri.!” Audi menyerahkan sepotong daun pisang. Kiara menerimanya dengan bingung. Setelah ia menerimanya, dan berterimakasih pada Audi . Gadis itu berjalan kembali ke kamar.
Dikamar, ia melepas mukenanya dan menaruh Al-Qur’an di loker lemari. Keadaan Kamar sedang Sepi. Tanpa Tunggu lama ia duduk dan membaca tulisan di daun pisang tersebut.
Assalamualaikum ..
Disaat rasa itu mulai bersemi
Aku merasakan resah dan gelisah didalam hati
Darimana dan kapan datangnya rasa ini??? Ingin cerita ke kawan, Malu rasanya.
Sebab kau tau, bahwa kawan bisa saja menceritakan ke yang lain suatu saat nanti.
Aku hanya bisa diam membisu karena perasaan yang semakin hari semakin tak karuan itu.
Ketika pertama kali ku melihatmu, aku rupamya telah jatuh cinta kepadamu. Mungkin perasaan ini terlalu cepat dan membuatmu Ragu.
Semoga Alloh selalu melindungimu di mana pun kau berada. Semoga Kau selalu diberi kesehatan oleh Alloh …
Wassalamulaikum..
Kiara membolak- balikan Daun itu. tak ada nama yang terselip disana. ia pun beranjak dari duduknya dan menyimpan benda tersebut. Ia terdiam. Sesaat ia teringat akan wajah seorang pemuda.
“Kiara?” Naina menepuk pundak Kiara. sebuah teriakan yang lumayan kencang terlontar dari bibir Kiara. gadis itu menoleh dan mengelus dada.
“Ditungguin dari tadi. ngapain,sih?”
“Eh, emm nggak. Ini tadi beresin lemari.” Dustanya.
“Ayuk, sarapan.”
Kiara pun tersenyum dan memenuhi ajakan Naina. Tak ada yang tau tentang surat yang disimpan oleh Kiara. hanya Alloh lah yang menjadi saksi atas kebisuan Cinta itu.

***
Seminggu kemudian..
Naina dan Kiara sedang Asyik membaca Buku dijembatan. Jembatan ini terhubung langsung kekamar. Terkadang banyak santri putri yang suka nongkrong sambil bersenda gurau disana. namun, saat mendengar rumor yang ternyata Jembatan itu suka ada yang serem-serem. Menurut Kiara itu hanya mitos belaka. Semua itu karna untuk menertibkan santri putri untuk Tidur tepat waktu. Ditempat itulah Kiara terkadang menikmati sejuknya pagi, sambil melihat matahari terbit, disitulah ia merenungi hal-hal yang indah.
“ Kiara, aku mau ngomong sama kamu!”Riana yang tiba-tiba datang tak mengucap salam membuat keduanya terkejut.
“Ya Alloh kamu ngagetin aja,Ri. Ada apa sih?” Naina yang tau itu menaikkan Alis.
“Ehehe.. bentar, Ya,Nai. Aku ada perlu sama Kiara!” tanpa punya muka, gadis itu menggeret Kiara ke tempat yang jauh. Naina yang tau itu menggelengkan kepala dan melanjutkan kegiatannya.
“Aduh ada apa, sih, Ri? Pake seret-seret segala aku bukan kambing!” sungut Kiara.
“Sssst.. aku mau minta tolong kamu, Ki. Tapi kamu janji jangan bilang ke siapa-siapa ya. Terutama ke Pengurus.”
“Mau minta tolong apa emang?” Kiara penasaran.
Riana membisikkan sesuatu ketelinga Kiara. mata Kiara sontak membulat. Ia tak menyangka Riana akan berbuat seperti itu. Mbhobol pondok . Itulah rencana Riana. Sebagai mantan Master ahli Mbhobol dan tak pernah ketahuan satu orangpun Kiara sudah lupa akan semua itu. bahkan sekarang tempat itu sudah diberi Kawat berduri yang sudah berkarat. ia menggigit bibirnya, memandang Riana yang dimatanya penuh harap.
“Ri, Bukan berarti aku tak mau membantumu. Itu sudah lama sekali tak kulakukan. Aku sudah lupa.”
“Ayolah, Kiara. hanya untuk sekali saja.”
Kiara menimang-nimang. Ia mondar- mandir seperti setrika. Dan sepuluh langkah kedepan ia pun menyanggupi permintaan sahabatnya. Riana memeluk Kiara ia berharap rencana malam ini tak gagal.
Dikamar Sunan kalijaga …
“Li, Mar., nanti malam mau ikut makan-makan, Nggak?” tawar Ridho pada Damar dan Ali.
“Kalau kau yang bayar aku mau.” Jawab Ali sambil menyeruput kopinya.
“Tapi ada syaratnya..” ucap Ridho sambil tersenyum penuh makna.
Damar dan Ali merapat. Mendengarkan Ridho membisikkan sesuatu kepada mereka berdua. Mendengar itu Damar terkejut begitu pula dengan Ali.
“Gendeng, kowe! Kau ingin_” belum selesai Damar bicara Ridho membungkamnya.
Ali dan Damar saling pandang melihat Ridho yang mengatupkan tangan tanda memohon. Sebagai pengurus yang taat, mereka tak mau melakukan itu. Tapi, demi persahabatan.. Aaakh mereka jadi bingung. Jika Pengurus sampai Tahu, maka bukan hanya Ridho yang kena hukum. Dua kali lipat hukuman untuk pengurus membuat mereka keder dibuatnya. Ali dan Damar terdiam sesaat mereka berdua berkata” Oke setuju..”
“Tapi jika terjadi apa-apa tanggung sendiri!” Ali mengingatkan.
Malamnya…
Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Semua santri merajut mimpi mereka. Dan mereka akan bangun sampai Adzan subuh berkumandang. Riana dan Kiara mengendap-endap menuju tempat yang akan menjadi jalan Rahasia dari pondok ini.
Sesampainya disana rasa takut Riana muncul. Jalan itu benar-benar gelap gulita. Pohon-pohon seperti hidup dan menatap mereka. Semak-semak belukar seperti membelit jalan tersebut agar tak ada yang berani melewatinya.
Riana tau mengapa tadi sore Kiara menyuruhnya untuk membawa senter. Ia melihat sekeliling, ia tak menyangka dulu Kiara berani berbuat nekat dengan melewati jalan yang seram ini sendirian. bulu kuduk Riana berdiri, ia merasa ada yang mengawasi. Tapi bayangan itu segera ia tepis. Kiara sibuk mengorek-ngorek sesuatu disamping pohon Mangga. Seperti nya ia sedang mencari sesuatu.
“Nah, Ketemu!.” Dalam genggamannya terdapat Tang yang dapat memotong kawat berduri itu. karna ia tau kawat itu sudah berkarat. maka, tak mudah untuk melepasnya. Tak seperti dulu yang kawatnya masih baru dan ia mudah untuk melepaskan dan menggabungkannnya kembali.
Dengan hati-hati, Kiara mencoba untuk melepaskan kawat tersebut. Dan akhirnya sampailah ia tembus pada jalan raya. Riana melihat indahnya dunia malam. Lampu-lampu jalan memperindah pemandangan malam itu. Deru suara kendaraan membuat Riana tesenyum puas dapat keluar dari Asrama itu. Riana pun merogoh saku bajunya. Ditangannya terdapat benda berbentuk kotak. Hape. Jari-Jarinya sibuk mengetik keyboard Hape.
Kiara menghirup aroma sejuk udara dimalam hari. Ia tersenyum. Sudah lama ia tak keluar pada malam hari. Ternyata suasana masih sama. Ia pun mengingat kejadian waktu itu. pertemuan diwarung Lesehan dan perpisahan membuat raut wajahnya tiba-tiba berubah.
Lamunan-nya buyar saat Riana menepuk pundaknya dan menggaet tangan gadis itu untuk pergi dari tempat tersebut. Sesampainya Disana,Riana bertemu dengan Ridho, Ali, Dan Damar. Kiara terkejut. Ia bertanya-tanya mengapa Damar harus ikut? Ia pun lebih melilih diam.
“Gimana, aman?” Tanya Ridho.
“Aman, Dong!”
“Yuk, makan. kamu mau pesan apa?” tawar Ridho. Riana pun memilih bebek goreng dengan lalapan beserta es teh manis.
“ Kiara, mau pesan apa?” Tanya Ridho.
“Eh, gak usah, Dho. Kalian saja yang makan aku disini Cuma nganterin Riana aja.” Tolaknya.
“Alah, sudah gakpapa. Aku pesankan sama dengan yang lainnya ya.”
Tanpa menunggu persetujuan dari Kiara, pemuda berkemeja hijau itu memesan makanan. Warung lesehan adalah tempat yang paling nyaman. Riana memilih tempat duduk disamping Ridho. Awalnya Kiara ingin duduk disamping Riana . tapi, karna ini pertemuan mereka, maka Kiara duduk disamping Damar yang tengah terdiam menatap jalanan. Sejenak mereka menoleh bersamaan. Mata mereka bertemu. Kiara langsung menundukkan pandangannya. Rasa malu terasa dalam hatinya.
Ridho dan Riana berada diujung mereka asyik becanda tawa, Ali menunggu pesanan dengan memainkan Game di Hapenya. Hanya Damar dan Kiara yang terdiam.
“Kalau masih jam segini jalanan masih Rame.” Kata Damar sambil memandang Kiara.
“Oh ya?”
“Iya, Menurutku Lesehan Pak Khoirul gak ada duanya. Ikan wadernya enak banget. Harganya juga harga para Santri. Hehehe…”
Kiara tersenyum tipis. Ia tak bisa bilang kalau dulu ia juga kesini. Disinilah tempat kencan-nya dan tempat Riana dan Ridho itu adalah tempat Favoritnya dulu.
Lalu terdiam lagi. tak ada obrolan yang berlanjut sampai pesanan mereka semua datang.
“Loh, Neng Kiara!” sapa Hamzah anak Pak Khoirul. Hamzah adalah anak tunggal pak Khoirul, ia putus sekolah saat masih Tsanawiyah alasannya karna Biaya. Akhirnya ia membantu Ayahnya untuk berjualan diwarung Lesehan. Anaknya baik, pintar.
“Lama ndak kesini, Neng. Menu makan-nya juga masih sama ya eheheh.. Pecel Lele sama Es Teh Manis.” Ucap Hamzah. Mendengar itu Damar menoleh. Pandangan Kiara Beralih ke jalan Raya.
“Pernah kesini?” Tanya Damar. setelah Hamzah pergi.
“I..ya..Dulu.”
“Sama Siapa?”
“Sama Temen.”
Damar tersenyum. Ia merasa malu, karna tadi menceritakan semuanya pada Kiara. tapi, ternyata Kiara juga pernah ketempat itu sebelumnya. ia pun mengganggap obrolan tadi sebagai pendekatan.
Mereka makan setenangnya. Ali makan dengan lahap tanpa memperdulikan teman-temannya. Riana dan Ridho pun sama mereka Juga asyik berfoto. Kiara menyisihkan lalapan yang berada dipiringnya.
“Ndak suka sayur ya?” Tanya Damar saat melihat semua sayur yang Kiara sisihkan.
“Eh.. aku milih-milih kalau makan.”
“Sini biar aku aja yang makan, kamu suka ikan Wader?”
“Iya, suka.”
Damar mengambil lalapan yang berada dipiring Kiara dan menggantinya dengan ikan Wader miliknya. “Loh kamu makan apa?”
“Lha ini!” Damar menunjukkan sedikit ikan wader dipiringnya. “Tadi sudah kumakan. Aku bagi ke kamu.” Kiara yang melihat itu tersenyum tipis. Gadis itu pun melanjutkan makan-nya. Setelah selesai makan, Ridho membayar semua pesanan mereka. Dalam perjalanan, mereka berpisah.
“Riana, Titip salam ke Naina, ya?! Masa tadi aku Cuma jadi obat nyamuk.” Sindir Ali sambil melirik kearah Damar. melihat Itu Damar menyenggol Siku Ali.
“Ohh gitu ta! Iya, yaudah kami berdua balik dulu. Assalamualaikum!”
“Waalaikumsalam!”
Dalam perjalanan Damar berjalan sambil tersenyum. Ia tak menyangka ini pertemuan ketiga ia dengan Kiara.
Kiara dan Riana berhasil masuk dengan selamat. Mereka pun mengganti baju dan pergi ke kekamar. Riana melihat jam sudah tengah malam, pantas saja tadi diluar jalanan sudah lumayan sepi.
“Makasih, Ya, Ki!” Ucap Riana saat berbaring Dikasur.
“Iya, sama-sama.”
“Udah tidur,Yuk. Nanti kita telat Tahajudnya.!” kata Riana .
“Iya.”
Riana sudah tertidur. Tinggal Kiara yang masih gelimpungan ia sempat mengingat kejadian tadi diwarung lesehan pak Khoirul. Ia mengingat wajah Damar yang teduh, senyum yang mengembang dibibirnya membuat Jantung Kiara berdetak lebih kencang dari biasanya. Ia juga mengingat saat Damar memberikan Ikan wader dipiringnya. Sampai akhirnya ia pun terlelap.
***
Hari berganti Hari, Bulan berganti Bulan. Tak terasa kakak kelas akan Lulus. Itu artinya, angkatan Kiara akan menduduki Kelas tiga. Kiara menatap langit. tak terasa sudah hampir enam tahun dia di pesantren. Saat itu. ia mengingat bagaimana tangisnya pecah saat berangkat menuju tempat itu. mengingat bagaimana ia tak makan selama tiga hari. Ia tersenyum manis jika mengingatnya.
“Assalamualaikum Pengumuman diberitahukan kepada … Saudara Muhammad Zainal Akbar , Raisa Wulandari, Harap segera menuju ke Kantor keamanan sekarang juga! Terimakasih.” Sepi. Senyap. Tiada yang bersuara. Para santri yang semula riuh langsung terdiam seketika. Raisa wulandari. Adek kelas yang terkenal diam itu dipanggil ke kantor keamanan. Apa yang dia lakukan. Kiara menatap Raisa yang melintas. Matanya sembab sepertinya ia baru saja menangis. Kiara menarik lengan Lia yang lewat sambil membawa cucian di tangannya.
“Li, ada apa?”
“Oh, Itu katanya Zainal sama Raisa kepergok pacaran.” Jawab Lia singkat.
“Kok Bisa?”
“Kurang Tau.”
Kiara terdiam menatap Lia yang pergi meninggalkannya. Ia teringat akan surat yang diberikan Seseorang Yang dititipkan oleh Audi, ia pun berjalan cepat ke kamar. Kebetulan Di dalam kamar hanya Ada Ocha dan Anna. Kiara mengambil Buku Binder yang didalamnya terselip sebuah surat dari daun pisang ia mengambil Pulpen dan menulis kata demi kata. Selepas itu surat ia berikan Pada Audi untuk menyampaikan kepada Kang santri.
***
Assalamualaikum..
Bismillah ..
Maaf jika surat ini menganggumu.. aku hanya ingin tahu siapa pengirim surat ini.
Jika kau tak keberatan Aku mengajakmu untuk bertemu di Lesehan pak Khoirul jam 22.00.
Terimakasih
Wassalamualaikum..
“Mati aku!” umpat Damar.
Ia mondar mandir di dalam kamar mandi, ia bebas bisa bicara seperti itu karna didalam tak akan ada yang tahu tentang isi Surat itu dan tak akan ada yang dengar Ia berbicara seperti itu. ia menggigit bibir bawahnya berusaha berpikir. Tidak mungkin ia keluar gerbang sendiri sementara menurut pandangan orang-orang pesantren, ia selalu mengajak satu atau dua orang untuk keluar walau itu sekedar untuk beli makan. Ia takut semua temannya akan curiga apalagi dengan Ridho yang waktu itu sempat membuat taruhan. Ia tidak ingin menjadi orang munafik dalam kehidupan ini. tapi, ia juga malu kalau sampai ketauhan menyukai Kiara.
Dan akhirnya ia mengikuti Kata Hati nya. Ia akan keluar dari pesantren sendirian secara diam-diam.
***
“Ki, malam nanti begadang, yuk..bikin mie sama Teh” ajak Naina.
“Aumm.. maaf, Nai. Hari ini aku diet. Lain waktu saja,ya!” tolak Kiara halus.
Naina memanyunkan bibirnya. Jika sudah seperti ini, Kiara tak bisa menolak permintaan Gadis kecil, cantik itu. ia pun menganggukkan kepala tanda mau.
“Yeee.. nanti jam 21.00 ya.” Naina pun meninggalkan tanpa mengetahui jawaban dari Kiara. Gadis itu bingung. Malam nanti Naina akan mengajaknya makan, sementara itu disisi lain ia sudah membuat pertemuan bersama Si penulis Surat itu.
***
Malamnya, Naina benar-benar serius. Ia telah mempersiapkan segalanya. Bahkan Riana pun juga ikut memasak. Kiara semakin bingung harus bagaimana. Ditangannya sudah terdapat mie instan dan sekotak Teh celup untuk party kecil mereka. Naina sibuk membersihkan panci bekas sayur tadi siang sementara Riana mencampur bumbu dalam wadah berukuran sedang. Hanya Kiara yang masih diam di depan pintu dapur.
“Kiara, bisa kamu bantu buat bikin Tehnya?” pertanyaan Riana membuat lamunan Kiara buyar. Gadis berkerudung hitam itu mengangguk.
Semua sudah siap mereka bertiga makandengan Lahap. Naina dan Riana tampak sedang asyik berbincang-bincang mengenai sekolah Diniyah. Hanya Kiara yang diam sambil sesekali melihat jam dinding yang berada diatas pintu dapur.
“Ki! kenapa,sih. Daritadi diam saja?” Tanya Riana.
“Ada masalah ya?” tambah Naina.
“ Emm.. tidak apa-apa.”
“Kita temanmu, Ki. Kau selalu seperti ini. ada yang membuatmu terbebani?”
“Ayo, berceritalah. Siapa tau kami bisa membantu.” Sahut Naina.
“Sebenarnya… “ Kiara memulai cerita ia menatap tempat sekitar berharap tidak ada orang lain yang mendengar selain mereka bertiga.
“Apa???”
Kiara menempelkan jari telunjuknya mengisyaratkan untuk diam.
“Aku tak menyangka kau akan melakukannya lagi. dan kemarin ternyata kalian kabur berdua!?.” Naina berlagak kesal.
“Maafkan aku.. tapi hanya sebentar saja, kok. Tak akan lama. Aku mohon pada kalian agar membantuku. Jangan kalian bilang pada siapapun.”
Naina dan Riana mengangguk. Jam sudah menunjukkan pukul 22.22 Kiara pun pamit untuk mengakhiri makan-nya.
“Hati-hati,Ki! ” pesan Naina. Ia takut kalau temannya itu terjadi apa-apa.
“Pasti. Aku pergi dulu,ya Assalamulaikum.”
“Waalaikumsalam…”
Malam itu Kiara benar-benar melakukan kejadian beberapa tahun lalu. Sendirian, menyelinap keluar dari asrama. Dengan bermodalkan senter, jaket biru navy, rok spandek hitam dan kerudung hitam. Ia pun keluar melewati pagar kawat itu.
Diwarung lesehan..
Damar sesekali melihat jam tangannya. Ia resah mengapa kiara belum juga datang. Pucuk di cinta ulam pun tiba. Kiara datang ia sepertinya sedang mencari-cari seseorang didepan warung lesehan. tudung jaket ia gunakan untuk penyamaran, Damar yang melihat itu segera beranjak dari tempat duduknya.
“Assalamualaikum…”
“Waalaikumsalam..” Kiara menoleh mencari sumber suara betapa kagetnya saat didepannya adalah orang yang dikenalnya. Dengan jaket abu-abu. Sarung kotak-kotak hijau. Gadis itu menatap Damar dari ujung kaki sampai ujung rambut.
Damar mengajak Kiara untuk masuk ke warung dan memesan makanan. Ia tak menyangka kalau yang mengirim surat adalah Damar. Setahu Kiara, Damar adalah orang yang pendiam. Mereka pun duduk berhadapan. Kiara bingung harus bagaimana lagi. sementara Damar memainkan Cincinnya ia juga gugup harus mulai dari mana.
“Eh, neng Kiara. Kesini lagi. temennya mana neng? Kok gak rame-rame?” Tanya hamzah yang tiba-tiba sudah berada di sampingnya.
“Eh, i.. ya. Semua ada di asrama.”
“Neng kiara ndak berubah, yo. Kukira sudah ‘tidak’ lagi.. eheheh” goda Hamzah.
“Ah, sudahlah, Zah. Aku lapar nih, bisa tolong buatkan aku nasi lele dan segelas es Teh?” kiara memutar topik.
“Siap laksanakan, neng. Ini akaang nya pesen apa?” Hamzah menatap Damar yang masih terdiam.
“Oh.. emm aku sama kayak dia saja.”
“Oke .. di Tunggu sebentar ya Kaang, Neng!”
Keduanya menunduk tak berani menatap. Kaki kiara mengetuk-ngetuk tanah berharap ia mendapat inspirasi untuk bertanya.
“Kamu dulu kesini berani sekali berjalan sendirian.” Kata Damar yang masih menatap cincin nya.
“Siapapun bisa nekat demi seseorang yang dia cintai.” Jawab Kiara singkat.
Damar langsung menatap Kiara yang berada di depannya. Pemuda itu menghela nafas panjang. Tak lama pesanan pun datang.
Damar melihat Kiara selalu menyisihkan lalapan. Ia tersenyum tipis tangannya bergerak menuju piring Kiara tanpa punya muka, Damar mengambil lalapan di piring Kiara dan menggantinya dengan separuh ikan.
Kiara tersenyum dibalas dengan senyuman pula oleh Damar.
“Terimakasih..” ucap kiara.
Tak ada jawaban dari Damar ia hanya tersenyum. Manis. Gumamnya. Tak sadar ia menatap pemuda itu terlalu lama.
“Kenapa?”
“Em… tidak.”
Selesai makan mereka tak langsung kembali. Mereka terlibat obrolan kecil. Damar tak mendengar Kiara berbicara melainkan terfokus ke wajah Kiara. Seorang gadis yang nekat membobol pesantren demi seseorang. Seorang gadis yang berani menaggung resiko atas kesalahannya.
“Sudah Hampir larut malam. Warung ini juga akan tutup.” Kiara menatap Damar yang sedari diam memperhatikannya. Kiara beranjak untuk membayar.
“Berapa, Zah semuanya?”
“27ribu, neng. Neng pacar baru ya?” selidik Hamzah.
“B..Bukan. dia temanku.”
“Tapi dari tatapannya, Neng kiara sepertinya suka. Kayaknya juga orangnya baik, neng. Gak macem-macem.”
“Alah, sudahlah, Zah. Ini uangnya. Makasih ya. Assalamualaikum…”
“Iya, neng sama-sama. Waalaikumsalam…”
Damar dan Kiara berjalan beriringan. Mereka masih diam sampai di tikungan Damar mohon pamit untuk pergi kembali ke asrama. Begitupun juga Kiara.

***
Kiara membuka kawat yang tadi ia gabungkan. Namun tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki. cahaya dari sinar bulan menerangi penglihatannya ia melihat dari kejauhan pak Rohim sang penjaga gerbang sedang berjalan berkeliling asrama. Matanya membulat ia segera masuk ke dalam semak-semak belukar. Ia merunduk memasuki pagar kawat itu. karna keadaan gelap, tak awas telapak tangan Kiara tertusuk kawat, darah mengucur membasahi telapak tangannya.
“Auh…” pekik kiara.
Pak rohim yang mendengar itu langsung menoleh ke gerbang belakang.”Siapa disana?”
Kiara menutup mulutnya cepat-cepat ia sembunyi dan jongkok dibelakang pohon mangga yang tak jauh dari sampingnya. Pak Rohim berjalan mendekati semak-semak itu ia menggunakan senter untuk dapat melihat siapa yang ada disana. keringat dingin bercucuran membasahi kening Kiara. Gadis itu berusaha tak bernafas ia berdoa dalam hati semoga ia tak ketauhan oleh laki-laki separuh baya itu. Beruntung tadi gadis itu memakai baju berwarna gelap.
“Mungkin perasaanku saja.” Pak rohim pun pergi menjauhi tempat itu. Dirasa sudah aman, Kiara bergegas masuk lewat pintu belakang. Sampai didalam, nafas Kiara tak beraturan.
Rasa perih di telapak tangannya sampai tak dirasakannya. Kakinya gemetar ia tak sanggup membayangkan jika tadi ia bertemu dengan laki-laki itu. maka resikonya adalah meja hijau alias Ndalem.
Saat sedang duduk ia dikejutkan oleh seseorang yang menepuk pundaknya. Menyajikan teriakan istigfar. ia menoleh kebelakang ternyata itu Riana dan Naina
“Ada apa,Ki?” Tanya Naina.
“Kalian bikin aku kaget saja. Aku hampir ketauhan Pak Rohim tadi. ”
“Sebaiknya kita ke dapur saja dulu. Lihatlah! Telapak tanganmu. Kau terluka, Ki“ Riana langsung mengajak kedua sahabatnya untuk menjauh dari pintu belakang.
Naina membasuh telapak tangan Kiara dengan air hangat dan membungkusnya dengan perban.
“Terima kasih..”
“Iya, sama –sama. Lain kali hati-hati. Tadi bagaimana kencannya.?” Tanya Naina penasaran.
“Alhamdulillah.. lancar. Eh , kencan!? B..bukan kencan. Tapi pertemuan.” Sanggah Kiara.
“Alah sama saja.” Sahut Riana yang menyodorkan segelas air putih untuk Kiara.
Setelah bercerita, mereka kembali ke kamar. Kiara masih terduduk didepan kamar menatap tangan- nya yang dibalut perban. Ini bukan pertama kali-nya ia terluka demi bertemu seseorang. Gadis berkaos biru itu tersenyum ketika mengingat wajah Damar. Tak sadar wajahnya menjadi merah merona karna malu.
Sedangkan, di kamar sunan Kalijaga, Damar mengingat begitu manisnya senyum Kiara. Ia menutup wajahnya dengan bantal karna malu jika mengingat itu. Tak sadar mata Rendy melihat kejadian itu bergidik ngeri. Mengapa beberapa hari ini teman-temannya mendadak gila? Tidak Ridho, Damar, Bahkan Ali.
***
“Kau datang dan pergi Oh begitu saja semua ku terima apa adanya…” Ali bersenandung merdu menyanyikan lagu kesukaannya. Entah apa yang membuatnya semangat sampai seperti ini. Adid yang selesai membuat kopi duduk disamping pemuda berkaos abu-abu itu.
“Aissh.. semangat sekali kawanku ini. seperti ada sesuatu.” Goda Adid.
“Ah,. Tidak ada hanya sekedar bernyanyi saja.”
“Eh, Guys. Katanya nanti Zainal sama Wulan mau dikeluarkan dari pesantren!” ucap Mukhson tiba-tiba.
“Salah sendiri punya kelakuan tak dijaga. Sudah sepantasnya dia mendapatkannya.” Sahut Arfin.
Damar yang sedang asyik tiduran sambil membaca buku menghentikan ativitasnya begitupun Ridho yang sibuk melipat baju.
***
“Ki, bisa ikut aku sebentar!” kata Naina.
Kiara yang sibuk memainkan laptop mengarahkan pandangan ke gadis itu. “Kemana?”
“Sudah ayo ikut saja!” tanpa punya dosa Naina menggaet lengan Kiara. Sampai di sebuah jembatan naina menyodorkan kertas origami berwarna Merah hati. Kiara tak mengerti, ia pun membuka dan membaca surat itu.
“Hah?! Sejak kapan kau…”
“Ssst… Diam!. menurutmu bagaimana? Aku bingung, Ki.” Naina menunduk lesu.
“Apa kau suka?” Tanya Kiara. Naina bungkam ia malu untuk mengakui isi hatinya.
“Hey, ku Tanya, apa kau suka?”
Naina mengangguk Pelan. Gadis itu tersenyum melihat ekspresi temannya itu. ia tertawa kecil.
“Kalau kau suka. Ya silahkan saja! Tapi, jika suatu saat nanti terjadi sesuatu, maka bersiaplah untuk patah hati, Nai.” Nasihat Kiara.
“Ahh.. kau membuatku takut,Ki.”
“Loh, kok aku ya tadi kan ..” belum selesai bicara Mbk Laura tiba-tiba melintas depan mereka. Dengan cepat Kiara meremas surat yang ada ditangannya.
“Ada apa ini?”
“Tidak … emm.. tidak ada mbak.”
“Kalau bercanda jangan disini! dikamar saja. ganggu orang mau lewat. Selain itu nanti suara kalian bisa terdengar sampai asrama Putra. “ Nasihat mbk Laura. Lalu pergi meninggalkan mereka berdua.
“I..iya Mbak.” Jawab mereka pelan.
Naina dan Kiara saling pandang dan tersenyum penuh makna.
***
Hari demi hari, Ke- enam Santri itu telah berubah. Kiara dan ke dua temannya semakin berani untuk keluar dari asrama malam-malam. Begitupun, Ridho, Damar, dan Ali. Mereka bertiga jadi sering keluar malam. Tentunya, tanpa sepengetahuan teman-teman lain.
Hari ini Riana ada janji dengan Ridho. Ia meminta Tolong Kiara untuk ikut dengannya. tentunya sesuai janji Riana pada Ali ia akan membawa Naina bersamanya. Naina baru tau kalau tempat kabur dari sini begitu menyeramkan. Ini pertama kalinya ia ikut menuju dunia malam. di semak-semak Kiara sibuk memotong Kawat.
“Tak bisakah kau keluar sendiri, Ri?” sungut Kiara saat membuka Kawat berkarat itu.
“Hei, kau tau kan aku tak ahli dalam hal ini. lagipula, apa tak ada jalan lain selain ini.?” keluh Riana saat banyak nyamuk yang mulai menggigit.
“Sudahlah, kalian berdua keluar dulu! Aku akan menggabungkan kawat ini.” Kiara mempersilahkan kedua temannya untuk keluar lebih dulu.
Malam ini, mereka ber-enam duduk di lapangan Alun-alun. Mereka asyik menikmati malam itu dengan sebungkus nasi pecel. Nasi pecel dengan rempeyek serta ditambah dendeng ragi menambah nafsu makan mereka. Tentunya dengan didampingi segelas es Teh. Sungguh luar biasa. Ridho bahkan sampai menambah dua kali.
“Alhamdulillah… perut kenyang hatipun senaaang..” Ridho berkelakar.
Semua yang mendengar itu ikut tersenyum. Kiara menatap Naina yang tengah duduk diam disamping Ali. Raut Wajahnya begitu gugup. Mungkin ini untuk kedua kalinya ia jatuh cinta. Sementara itu disisi lain, terlihat Ridho dan Riana sedang bercanda seru. Entah apa yang membuat mereka tertawa. Hanya Damar yang terlihat sibuk memainkan handphone-nya. Mata Kiara tertuju pada wajah manis pemuda disampingnya itu. tatapan itu terlalu lama hingga membuat ia tersenyum dan tak sadar mata mereka bertemu.
“Hallo..! apa kau baik-baik saja?” Damar melambaikan tangannya tepat ke muka Kiara.
“Oh .. ehem .. Aku baik.”
“Aku sedang membuat ini.. “ Damar menunjukkan sebuah foto. Kiara tertegun saat mengetahui jika itu fotonya. laki-laki itu mengedit fotonya dengan sangat bagus, rapi, dan terlihat cantik. Damar tersenyum manis. Mereka berdua akhirnya terjebak dalam suatu obrolan. Damar merasa kalau jarak Ia dan Kiara semakin dekat. Bahkan hampir bersentuhan. Damar menatap gadis itu dengan senyuman. Perasaan macam apa yang ada di hatinya. Ia tak tahu pasti. Tapi, dekat dengan Kiara membuat ia terasa nyaman.
“Whooosh..! sudah hampir larut malam. Kita harus kembali ini. jika tidak, gerbang utama tidak akan terbuka untuk kita.” Ucap Ali yang itu sukses membuat Damar yang sedang melamun hal indah buyar seketika.
“Pulang sekarang?” Tanya Ridho dengan wajah lesu.
“Iya lah. Kamu mau kita kekunci lagi kayak waktu itu. kita tidur di Ruko lalu ditemenin orang gila.?” Ali terkekeh.
Mereka pun bangkit dari duduk dan pergi meninggalkan Alun- Alun. Mereka berpisah saat ditikungan jalan. Kiara dan ke dua temannya berhasil masuk Asrama dengan selamat. Tidak ada yang tahu. Mereka pulang langsung berganti pakaian, mencuci muka dan gosok gigi setelah itu mereka menuju Kamar masing- masing. Beda dengan Ali, Damar, dan Ridho yang telah sampai di Asrama.
Ketika sampai di kamar, semua mata tertuju pada tiga pemuda itu. Ridho merasa ada yang tidak beres. Tapi, Ridho tak menghiraukan mereka. Begitu juga Damar dan Ali.
“Kencan Trooooss…!” Arfin memecahkan keheningan.
“Tabrak terus, Mas!! Pagar pondoknya. Maju trus pantang mundur..!” Sahut Mukhson.
“Fin, diem-diem kayak nya kamu lagi seneng banget nih. Apa abis ketemu cewek ya!” kata Rifky sambil melirik Ridho sinis.
“Oh yoi, Dong. Siapa sih yang gak seneng apalagi berduaan…” cibir Arfin. Ia sengaja meninggikan suaranya agar si empunya terdengar.
Ridho yang merasa tidak nyaman pun akhirnya mendekati gerombolan itu.
“Maksudnya apa ya ini? kamu nyindir aku?”
“Woo.. santai kalau Luh gak merasa sih biasa aja dong, kawan. Kok bahasanya kayak nggak enak gitu.” Kata Daffa. Pemuda dari Jakarta itu memang punya lidah yang tajam. Tak peduli itu temannya atau bukan.
“Apa? kamu iri ?” Tantang Ridho.
“Loh, kamu merasa? Oh iya kan tadi abis bertemu..”
PRAAK.. gelas yang berisi setengah kopi itu ditendang oleh Ridho. Semua jadi terkejut cepat-cepat semua melerai pertengkaran itu.
“Gara-Gara cewek kalian berdua rela ninggalin Rapat ya!” sentak Arfin sambil menunjuk muka Ali dan Damar.
“Loh, bukannya Rapatnya besok?” Tanya Damar bingug.
“Hah??! kamu Lupa? Atau pura-pura lupa?! Ini akibatnya terlalu Cinta sama orang lain sehingga dirinya tak tau ada yang lebih penting dari Itu Semua!” ucap Mukhson jengkel.
“Sudah..Cukup! sudah malam! Sebaiknya kalian segera Tidur. Jika ini sampai terdengar dari ruang kamar Kang Habib, kita bisa kena Hukum. Sudah bubar!” ujar Adid tegas.
“Kau Akan menyesal suatu saat nanti… Kau akan menyesal ..” ucap Arfin lalu pergi.
Semua pun terdiam. sorot mata Ridho menggambarkan ia tak menyukai sifat Arfin. Ia tidak menyangka kalau temannya akan berkata seperti itu.
***

Sejak kejadian itu, Ridho dan Ali berniat pindah kamar. Ali berada di kamar Sunan Bonang bersama dengan anak-anak kelas satu aliyah. Sedangkan Ridho, ia lebih memilih ke kamar Sunan Gunung jati bercampur dengan santri kelas dua tsanawiyah. Hanya Damar yang masih bertahan di ruangan itu. satu kamar tak ada yang mau bicara dengannya. tapi, itu tak jadi masalah untuk Damar. Ia tetap mengaji seperti biasa, belajar pun seperti biasa.
Semua angkatan mereka terpecah belah. Semua menjadi saling diam, tak saling sapa. Mereka hanya terlihat akrab jika dihadapan orang lain.
Didepan kamar tampak Damar sedang ribet menambal Kitab. Mukhson yang melihat nya menghampiri pemuda berbaju Hijau itu.
“Damar!”
“Eh, iya .. ada apa?”
“Nanti malam kamu sama aku yang bagian ngelatih anak-anak pencak. Adid gak bisa ikut, dia sakit.” Kata Mukhson datar sambil berlalu tanpa melihat Damar sedikitpun.
“O..Oke.”
***
Malamnya …
“Satu..Dua..Tiga..”
Suara Mukhson memberi hitungan sangat lantang dari biasanya. Tampak raut wajahnya begitu menyeramkan. Damar yang melihat itu hanya diam. Sudah biasa jika Mukhson selalu memasang raut muka seperti itu dihadapan junior-juniornya.
Diluar, ia akan terlihat menyenangkan tapi, jika sudah didalam latihan, ia akan terlihat garang dan galak. Ia bahkan tak segan-segan untuk menendang muridnya jika salah melakukan kuda-kuda. Konon katanya, ia pernah mengikuti Pencak Dor( Gaya tarung bebas). Dan ia berhasil menghabisi satu lawannya hanya dengan tendangan dan dua pukulan saja.
Buk…! Buk..! terdengar suara samsak yang ditendang oleh para junior pencak silat. Damar hanya duduk sembari melipat tangannya menatap murid-muridnya. Damar selalu membenarkan murid-muridnya jika salah melakukan gerakan. Ia dengan sabarnya selalu memberikan materi. Terkadang ia juga membuat sedikit lelucon agar semuar muridnya tak terlalu tegang.
“Gak usah dimanja…!” bentak Mukhson tiba-tiba.
Damar yang mendengar itu terkejut. Selama ini ia tak pernah mendapat bentakan itu. Mukhson pun menyeret lengan Damar menjauh dari para muridnya.
“Dengar, Ya! Kamu itu disini masih Guru baru. Kalau kamu manjain mereka. Kapan mereka bisa? Kalau mau manjain mereka udah sana gak usah jadi guru pencak silat. jadi guru Tari aja udah cukup.” Mukhson memarahi Damar habis –habisan. Ia tak mengerti sama sekali. Biasanya, Mukhson akan diam jika Damar memperlakukan Muridnya dengan yang ia mau. Tapi, entah mengapa Mukhson jadi terlihat marah bahkan matanya menunjukkan kebencian terhadapnya.
Damar menghela nafas, ia berusaha tenang dan kembali melatih Adek-Adek kelasnya. Pukul 3 Dini hari, latihan telah selesai. Mukhson dan yang lainnya sudah kembali ke kamar. Hanya Damar dan Zaki yang masih duduk di depan Mushola. Melihat Damar terdiam, Zaki punya acara bertanya.
“Kaang..”
Lamunan Damar buyar seketika.”Emm.. Iya?”
“Tadi Kenapa, sih. Kaang Mukhson marah- marah terus. Dari pertama latihan sampai selesai dia nggak berhenti ngomel. Biasanya juga nggak begitu. Apa dia marah, Kaang sama kita?”
Damar tersenyum.” Ia tidak marah padamu. Ia hanya marah padaku.” Jelas Damar singkat lalu pergi meninggalkan Zaki yang masih duduk. Menatap ia heran.
***

Bulan desember telah Tiba. Kini saatnya menikmati Liburan semester satu. Semua santri putra baik putri bersorak gembira. Mereka memberi tanda di kalender untuk pulang kampung. Dan menikmati indahnya dirumah. Tapi, Pembina memberi mereka tugas agar selalu mengaji, Sholat lima waktu dan bersikap baik dikalangan masyarakat.
Hujan deras mengguyur sejak Adzan Ashar. Ini kemenangan sebab ngaji diliburkan. Air hujan masuk kedalam Asrama menggenang dan mengapungkan sandal. Dimushola Terlihat para santri memilih untuk tidur. Ada juga yang mencuci baju sambil hujan-hujanan.
Namun, tidak untuk angkatan Kiara. Riana mengadakan acara makan besar. Karna ia telah lulus dalam hafalan 150 Mufradat dan mendapat kan nilai tertinggi dikelas. Ia mengadakan acara syukuran dengan makan bersama angkatan. Satu lengser nasi kuning dengan lauk tempe bacem dan ayam Goreng membuat perut mereka keroncongan. Tak butuh waktu lama, nasi kuning dan lauk pun habis. Memang seperti itulah kehidupan di pesantren. Satu makan semua harus ikut. Tampak wajah-wajah mereka terlihat gembira apalagi Silvi membuat Teh hangat yang disajikan untuk mereka sungguh kenikmatan yang hakiki.
Selesai makan mereka pun beranjak dari duduk dan membersihkan semuanya. Riana mencari Naina. Ia tak tahu mengapa Naina tidak ikut makan bersamanya. ia lebih memilih duduk di jembatan sambil merasakan dinginnya hujan.
“ Nai, Kenapa Nggak ikut makan? Kamu tadi dicariin, temen-temen, loh.”
“Aku Habis mencuci lalu aku menikmati sejuknya air hujan. Tiba-tiba… “ Naina terisak halus. Riana tertegun dan langsung meraih Naina kedalam pelukannya.
“Kenapa Nai? Kau bisa cerita padaku.” Ucap Riana.
“Aku tiba-tiba kepikiran ibu, Ri. Aku takut kalau aku disini mengecewakan ibu.” Jelas Naina.
Riana terdiam sejenak ia memberi senyuman untuk Naina. “ Nggak, Nai. Kamu disini pasti bisa banggain kedua orang tua kamu. Nanti sholat tahajjud kamu berdoa sama Alloh. Minta ketentraman hati.” Kata Riana sambil mengusap air mata sahabatnya itu. Naina tersenyum tipis.
“Makasih ya, Ri. Kamu memang baik.”
***
Jam menunjukkan hampir pukul tengah malam. Tampak Kiara masih asyik membaca buku Novelnya. Ia memang kutu buku. loker lemarinya berisi banyak buku. Tak heran jika semua orang menamai loker lemarinya sebagai “ perpustakaan kecil”.
“Ki.,!”
Kiara menghentikan aktivitasnya dan menoleh mencari sumber suara. Dilihatnya Riana yang tengah berdiri di depan pintu kamar.
“Belum tidur, Ki?” Tanya Riana sambil ikut duduk disebelah gadis itu.
“Belum. Masih asyik, nih. Kamu sendiri, kok belum tidur. Nanti ketinggalan sholat tahajud, loh.”
“Alah sudah biarkan saja. Eh, ngomong-ngomong aku mau memberitahumu sesuatu.”
Kiara mengeryitkan dahi memandang temannya yang celingak-celinguk itu.
“Besok saat liburan…” Riana membisikkan sesuatu ke telinga kiara. Kiara manggut-manggut matanya terbelalak saat Riana membisikkan kalimat terakhir. Kira-kira apa yang akan dilakukan oleh kedua sahabat itu ?

***
Suasana pondok ramai sekali serupa pasar. Sudah tersiar kabar kalau ndalem mengijinkan mereka para santri untuk pulang ke rumah masing-masing. dengan syarat harus dijemput orang tua dan tidak diperbolehkan pulang ke rumah teman.
Sedangkan, Para pengurus diberbolehkan pulang hanya Empat hari. Karna akan ada pengajian akbar yang dilaksanakan hari sabtu malam minggu di ndalem. Tentunya abah yai-lah yang mengajar wali santri mengaji kitab. Mereka para pengurus dimohon untuk membantu ndalem mengurus makanan, membersihkan pondok.
“Ali!” seru Ridho saat melihat Ali sedang menyapu mushola.
“Ada apa? Sepertinya kau semangat sekali hari ini.”
Ridho membisikkan sesuatu kepada Ali. Ali tertegun ia tersenyum lebar seperti mendapat hadiah dari langit.
“Kapan?” Tanya Ali lagi.
“Hari minggu nanti kita berangkat. Ajaklah Damar sekalian.” Ucap Ridho sambil menaikkan alis.
“Oke siap” Ali mengacungkan jempol dan meninggalkan Ridho yang masih berdiri sambil tersenyum.
Sesampai dikamar, Ali mencari Damar. Semua temannya menatap dengan tatapan malas kecuali Rendi dan adid. Rendi dan adid memang sahabat yang baik. Mereka berdua tak pernah sekalipun membenci orang lain. walaupun kadang juga mereka dibenci, namun tanggapan mereka hanya senyuman saja.
“Ren, lihat Damar Nggak?” Tanya Ali.
“Dikamar mandi. ada apa, sih? Kayak ada yang penting banget.” Rendi kepo.
“Nanti saja.” Ali beranjak meninggalkan Rendi dan berjalan menuruni tangga. Ia mencari Damar dikamar mandi.
“Damar!”
“Oi …” seru Damar dikamar mandi.
“Kamu ngapain?” Tanya Ali yang berada di depan pintu kamar mandi.
“Aku mandi.”
“Mandi apa mandi? biasanya kamu kalau liburan juga mandinya mau Dhuhur.” goda Ali.
“Pikiran mu loh. Punya mulut dijaga.” Teriak Damar. Suara nya yang berat menggema di setiap sudut kamar mandi.
Damar selesai mandi. baru selangkah keluar, Ali mendorongnya agar masuk kedalam kamar mandi kembali. Sontak Damar berontak melepaskan diri seperti kuda yang akan disembelih. Namun, kekuatannya sia-sia. Ali mengunci pintu kamar mandi lantas memberi isyarat Damar untuk diam.
“Apa-apaan ini?”
“Ssst.. diamlah. Aku ingin memberi tahu mu sesuatu. Tadi saat aku bertemu Ridho, ia bilang …” Ali membisikkan sesuatu ke telinga Damar. Damar tertegun lantas ia tersenyum lebar seperti ekpresi Ali saat mendengar kabar itu dari Ridho.
“Bagaimana?”
“Ya, insya Alloh aku akan ikut.”
“Oh ayolah! Cuma beberapa waktu saja.”
“Tapi, aku juga punya acara,Li. anak-anak pencak silat akan ada kenaikan sabuk. Tidak mungkin aku tidak ikut.”
“Kapan acaranya?”
“Insya Alloh sore.”
“Alaah.. sore kita sudah kembali. Tenanglah sebelum Ashar kita akan kembali kesini.”
Damar menggigit bibir bawahnya. Ia merasa tidak yakin kalau sebelum Ashar akan kembali. Secara, Negara ini terkenal ‘jam karet’. Ali berusaha meyakinkan pemuda itu kembali. Akhirnya dengan penuh keyakinan Damar pun mengangguk tanda setuju.
Ali tersenyum, ia pun membuka selot pintu kamar mandi. ketika dibuka, Rendy yang melihat pemandangan itu sontak terbelalak. Damar dan Ali panik.
“Kalian ini benar-benar keterlaluan..”
Ali menelan ludah ia takut kalau rencana tadi akan ketauhan dan Rendy melaporkan kepada Kang Habieb atau Ustadz Zamzuri Secara pemuda itu masih ada hubungan darah dengan beliau-beliau.
“Emm.. a-aku bisa jelaskan.” Ucap Ali terbata –bata.
“Apa yang kalian lakukan ? Apa kalian sudah gila. Sadarlah, kawan! Masih Banyak santriwati Diluar sana. “
Ali dan Damar saling pandang. Ali lega ternyata Rendy tak mendengar hal itu. namun, ucapan itu giliran membuat Damar tekejut.
“Ojok aneh-aneh!! ( jangan aneh-aneh) Aku masih normal.” Sungut Damar sambil melipat tangannya.
“Lalu apa yang kalian lakukan didalam sana berduaan?”
“K-kami.. eh D-Damar tadi..” Ali sulit menjelaskan ia takut rencana itu akan terbongkar.
“Aku Percaya kedua Kawanku ini tidak ‘Belok’.” Kata Rendy.
“Ya, iyalah… Nauzubillah aku kayak begitu.” Sahut Damar.
“Sudahlah, aku mau mandi.” Rendy pun melangkah masuk ke kamar mandi. Ali dan Damar tersenyum dan bersalaman ala-ala.
“Ehem..” Ternyata kepala Rendy kembali keluar untuk melihat kejadian apa lagi yang akan dilakukan dua sahabatnya itu.
“Astagfirulloh …apa sih?” Ali ikut Geram.
“Eheheh., tidak apa-apa hanya memastikan saja.”
“SUDAH SANA MASUK!!” seru Damar dan Ali bersamaan.

***

Semua para Santri Al-Firdaus sibuk mengemasi barang-barang mereka. Ya hari ini adalah hari yang begitu mereka tunggu-tunggu. Satu-persatu Para Santri mulai dijemput oleh orang Tuanya. Para pengurus juga pulang. Hingga akhirnya tinggal beberapa santri yang masih berada dipondok.
Langit berwarna kebiruan, itu berarti hari ini rencana mereka semua akan dimulai. Ya, hari ini ke enam santri itu akan pergi berlibur bersama. Mereka akan berangkat ke Kota Malang. Dan bersenang-senang disana. kali ini mereka akan pergi ke Coban talun yang teletak di kota Malang. Ridho, Damar, Dan Ali sudah menunggu di tempat yang sudah dijanjikan.
Sementara itu di Asrama putri…
“Aduh, kerudung yang mana yang bagus?” Tanya Naina.
“Ini, bagus!” Kiara menunjukkan kerudung cream polos.
“Yakin, aku cantik pake baju ini?” Naina ragu.
“Yakin.. coba deh.” Kiara berusaha meyakinkan sahabatnya itu.
Setelah mereka siap, tak lupa mereka mengenakan sarung atau rok sebagai alas luar dan memakai Jaket. Ini gila, memang. Tapi, siapapun bisa melakukannya hanya untuk kesenangan hati.
Sesampainya di gang belakang pondok mereka bertiga melepas rok dan kain sarung berganti dengan celana Jins. Mereka menitipkannya di rumah tetangga yang tak jauh dari sana.
***
“Aduh, kalian tadi lama sekali. Hampir berjamur aku menunggu!” Ucap Ridho Gusar.
“Maklum, cewek dandan-nya lama.” Kata Ali sambil melirik kearah Naina.
“Ah, sudahlah! Ayo kita berangkat waktu terus berjalan ini.” sahut Riana.
“ Oke, kita berangkat.”
Mereka berangkat dengan mengendarai Mobil milik teman Ali. Dan tentunya Ali-lah yag yang menjadi sopir. Didalam mobil mereka saling diam hanya Riana dan Ridho yang sibuk bercanda tawa.
“Pak, buk.! niki sios ten Coban Talun nopo?(jadi ke Coban Talun?)” kata Ali berlagak seperti sopir sungguhan.
“Oh iya.. pak. Agak cepat ya. Udah gak sabar nih!” jawab Ridho. Sontak mata Damar dan Kiara membulat, tidak sabar apa?
“Hanya bercanda!”
Mereka saling pandang dan tertawa kecil.
***
Sampai dilokasi mereka berdecak kagum. Air terjun yang begitu menyejukkan mata, sejuk, segar, sehingga membuat pikiran dan suasana hati jadi rileks kembali. Tempat itu bukan hanya cantik, tapi juga memberikan kesan romantis bagi siapa saja yang mengunjunginya. Mereka ber enam menikmati suasana romantisme disana.
Kiara dan Damar memandang Air terjun dengan terkagum-kagum. Damar menghela nafas terasa sejuknya pemandangan yang menyegarkan mata. begitupun Kiara ia merasakan tak ada polusi di sekitarnya. Adanya hanya tanaman hijau yang warnanya begitu cerah.
“Indah, ya!” kata Damar.
“Iya. Begitu indah ciptaan Alloh. Alloh memberikan kita tempat seindah ini tapi kenapa orang-orang malah merusaknya?” Ucap Kiara.
“Hanya orang-orang yang tak tahu aturan yang mau merusak, membuang sampah sembarangan. Padahal kita disuruh untuk menjaganya bukan merusaknya.” Tambah Damar.
Tak sadar tangan mereka saling bersentuhan dan berakhir dengan genggaman erat. Jantung Damar serasa mau copot. Tak hanya itu rasanya pun tiba-tiba berbeda. Sementara Kiara, pipinya menjadi merona. Mereka berdua menikmati indahnya pemandangan air terjun.
Sementara Ali dan Naina pergi ke taman Bunga. Mereka berfoto-foto disana. disana mereka bersenang-senang, berfoto, menikmati suasana romantisme ber-enam. Hingga tak sadar Setan berhasil membius mereka. Tak terasa waktu berjalan dengan cepat. Samar-samar Damar dan Kiara mendengar Adzan Ashar. Damar tesentak kaget ia melihat jam tangannya sudah jam empat sore. Ia beranjak meninggalkan Kiara yang duduk disampingnya lantas berjalan hendak mencari Ridho. Gadis itu bingungg ia pun beranjak dan menyusul Damar.
“Ridho, ayo kita pulang. Sudah sore! Ayo cepat!” Damar berbicara dengan nada panik.
“Astagfirulloh… Ali dan Naina mana?” Ridho ikut panik.
“Ada apa?” Tanya Ali yang baru saja sampai dan melihat mereka ber-empat panik.
“Aku bisa dimarahi Kang Habieb kalau sampai telat, hari ini ada kenaikan Sabuk pencak silat,” jelas Damar.
“Kalau begitu ayo kita pulang.” Sahut Ali.
Mereka ber-enam menuju parkiran, Ali menyalakan mesin mobil segera mereka melaju cepat kembali ke pesantren. Didalam mobil, Damar gusar sedikit-sedikit ia melihat jam tangan.
“Ali, bisa kau lebih cepat.?” Tanya Damar.
“Ini sudah lebih cepat aku ini warga taat hukum. Tak mungkin aku menerobos lampu merah.” Jawab Ali.
“Arrghh.. sial kenapa harus sekarang kau ada acara sih?” Ridho kesal.
“Dan kenapa juga kau mengajak ke tempat jauh. Aku kan sudah bilang ke tempat lebih dekat saja. Ini juga salahmu,Li. Kalau kau tak berlama-lama dengan Naina kita pasti sudah pulang. Kau bilang juga padaku kita pulang sebelum Ashar!!” Damar mengomel.
“Kau yang harusnya bisa ber-alasan apapun ke Kang Habieb. Kalau seperti ini siapa yang repot? Kita juga kan?..”
“Ali, Awas Lihat depan..!!” jerit Naina.
Ali terkejut tak awas ia menabrak seorang wanita separuh baya sedang membawa keranjang sayur. Wanita itu jatuh tersungkur. Ali menghentikan Mobil nya Dan teman-teman nya langsung turun untuk melihat keadaan wanita tersebut.
Ibu itu terluka dibagian lengan ia mengaduh kesakitan. Semua orang bergerombol menyaksikan kejadian itu.
“Ibu, maafkan saya. Maaf..”
“Sebaiknya kita bawa ia kerumah sakit.” Kata Damar.
“Kau punya Uang ?” Tanya Ali.
“Sudahlah, masalah uang belakangan. Sekarang kita bawa ibu ini kasihan beliau.” Ujar Kiara.
Mereka pun membopong ibu itu masuk kedalam mobil dengan dibantu oleh warga sekitar. Ali mengendarai Mobil dengan cepat. Ini salahnya, seharusnya ia lebih memperhatikan jalan.
Sesampai di rumah sakit terdekat. Dokter memeriksa keadaan sang ibu. Mereka ber-enam menunggu di ruang tunggu. Ridho mengacak-acak rambutnya. Mondar mandi layaknya setrika.
“Kalau kau tak mengomel, Hal ini tak akan terjadi.” Kata Ridho tegas sambil menunjuk muka Damar.
“Kau yang seharusnya tau waktu..” belum selesai Damar bicara Kiara melerai pertengkaran kecil itu.
“Sebaiknya kita Sholat dulu. Kita tenangkan Hati kita. Dan kita doakan ibu ini baik-baik saja.”
Mereka semua saling pandang dan setuju dengan usulan Kiara. Mereka menuju mushola rumah sakit dan mengambil wudhu. Di dalam mushola mereka memohon ampun karna telah melakukan kesalahan.
Keluarga ibu itu telah tiba. mereka menyalami Ridho Dan kawan-kawan, tak lupa berterima kasih atas semuanya.
“Terima kasih, nak. Kalian orang-orang baik ibu doakan kalian selamat dan selalu dalam lindungan Alloh Ta’ala.” Ucap Ibu itu sambil tersenyum.
Didalam Mobil mereka ber-enam saling diam tak lagi bicara. Ucapan sang ibu itu lah yang hanya terngiang di kepala mereka. Mobil berbelok ke pom bensin. Saat turun Ali betapa terkejut saat pandangan matanya bertemu dengan ustadz Zainul. Malang tak dapat ditolak pandangan ustadz Zainul mengarah ke Ali. Mata mereka bertemu, jantung Ali rasanya ingin lepas ingin masuk ke dalam mobil kembali juga tak bisa.
“Li, Kenapa sih?” Tanya Riana yang membuka kaca mobil. Riana terbelalak melihat Ustadz Zainul berada tak jauh dari pandangannya. Begitu juga dengan Ridho, Damar, Naina, dan Kiara
***

Malamnya, Santri Al-Firdaus yang masih di pondok sedang asyik menikmati hari kosong karna ngaji diliburkan. Abah kyai sedang ada pengajian di semarang. Damar, Ali, Ridho, Kiara, Riana, dan Naina berada dalam kurungan kantor keamanan. Wajah mereka tertunduk lesu. Didepannya sudah ada Kang Habieb, Kang Dhika ,Mbak Laura, Mbak Iren, dan Mbak Novi. Selama enam Tahun di pesantren itu, Kiara sekalipun belum pernah memasuki kamar yang menyeramkan itu, yang sering disebut kandang Singa. Kiara melihat mbak Laura menulis tanggal, Nama, dan perkara. Kiara menaksir itu adalah buku Takziran. Yang berarti buku khusus hukuman. Disamping Kang Habieb, terdapat Kang Dhika yang ber-ekpresi Natural. Tak senyum dan tak terlihat garang.
“Jadi, ini ta yang buat kamu telat buat ikut acara kenaikan sabuk? Hmm..” Tanya Kang Habieb pada Damar dengan nada tertekan menahan amarah.
“Kemana seharian ndak di pondok, Nduk?” Pertanyaan Kang Habieb beralih ke Riana dan dua temannya.
Tak ada jawaban dari mereka. Bungkam, hanya terdengar suara jangkrik di malam hari.
“Punya telinga apa ndak? Ditanya kok?” Mban Iren mendengus.
“Ke ..C..Coban Talun, mbak.” Jawab Naina terbata-bata.
“Kalian tahu peraturan pondok kan?” Mbak Novi Menatap mereka ber –enam.
“Tahu, mbak.” Jawab mereka bersamaan.
“Kenapa kok dilanggar.?”
“Kan Libur mbak jadinya ya..” belum selesai Ridho bicara mbak Laura menggebrak meja. Keamanan anyaran ini sungguh menyebalkan.
“Jadinya? Kalian bisa main seenak jidat dengan yang bukan mahrom. Astagfirulloh, Mbak,Mas. Kalau libur bukan berarti peraturan pondok juga libur. Peraturan wajib ditaati selama masih disini. itu peraturan dari abah Kyai. Kalau sampeyan melanggar, Dholim kalian sama Abah kyai.” Jelas Mbak Laura mendelik-delik. Ternyata jawaban Ridho membuat mereka murka.
“Abah yai ini sesepuh di yayasan. Santrinya dikenal santun dan menguasai ilmu-ilmu agama. Kalau sampe abah yai lihat kayak gini. Nangis mbak, mas.! Kalian kepingin kayak cah nom-noman yang tidak mondok? Bisa bebas main kemana saja dengan yang bukan mahrom? Kalau sampe terjadi apa-apa, apa bukan pondok yang kena, Ha!” kembali mbak Laura menggebrak meja. Kang Dhika meliriknya, keamanan anyaran ini banyak bicara tanpa tahu ilmu menggali informasi.
“Jawab ngapain aja kesana?” Tanya Kang Habieb.
“Ya, nggak mungkin ngakulah. Maling aja kalau ngaku ya penjara penuh,kok. Mereka itu sudah jelas salah. Kesana ya kepingin senang-senang. Iya kan? Foto-foto berduaan. Makan bareng, pegangan tangan. Mereka kan naik mobil, buktinya ketemu Ustadz Zainul tadi,kan?” Mbak Novi menggebu-gebu. Kang Dhika memberi isyarat untuk diam.
“Begini Mbak, Mas,” kali ini Kang Dhika berbicara.” Peraturan tetap ditegakkan. Kalian tadi keluar tanpa ijin, yang perempuan juga tidak memakai jilbab almamater. Kalian sudah melanggar tiga pasal: pasal pertama, tidak memakai jilbab almamater bagi yang perempuan. pasal ke dua, keluar tanpa izin. Pasal ketiga, pergi dengan non-muhrim. Kalau terbukti melakukan tindakan yang melanggar, Kalian bisa dikeluarkan.”
Air mata Naina satu persatu meluncur. Rasanya ia tak percaya apa yang baru saja ia dengar. Bagaimana kalau ia benar-benar dikeluarkan? Bagaimana kecewanya ibu dan ayahnya bahkan keluarga besarnya? Bagaimana bisa seorang santri punya dosa moral yang parah. Bagaimana kalau mereka menyangka ia dikeluarkan sebab berzina?
Naina terisak-isak. Kiara menggengam tangan Gadis itu erat. Menguatkannya. Ia tahu ia merasa sangat bersalah.
“Dan untuk Damar dan Ali. Kalian besok resmi tercabut sebagai pengurus kebersihan dan pengurus pendidikan.” Ucap Kang Habieb. Damar dan Ali luruh mata Damar sudah terlihat merah menahan tangis. Bukan jabatan yang harus ditangisi. Tapi, nasib. Bagaimana jika ia dikeluarkan dari Pesantren ini? bagaimana ia harus menjelaskan pada kakak nya dan keluarganya? Begitupun Ali, Tiga tahun disini. ia ingin keluar dalam keadaan baik-baik bukan sebab dikeluarkan.
“Cabut saja, Kang. Pendidikan kok gak mendidik.” Cibir Mbak laura.
“Saya tahu. Kami semua salah dan sudah melanggar aturan pondok. Tolong jangan Tanya lagi. Saya siap menanggung resiko hukuman tiga pasal yang sudah saya langgar tadi.” kata Riana.
Kang Habieb terbelalak, mbak Novi melongo.
“Mbak, mereka hanya korban kami tidak ada yang menyuruh. Kami kesana keinginan kami sendiri. tapi, mbak perlu tau mengapa sampai magrib kami baru pulang. Karna ada suatu kejadian yang menimpa kami.” Sambung Ridho.
“Kami tak sengaja menabrak seorang wanita paruh baya. Dan kami bertanggung jawab membawa beliau kerumah sakit. Itulah sebabnya kami pulang terlambat. Kami menyelamatkan nyawa seseorang. Tapi, kami sekalipun disana tak meninggalkan kewajiban kami untuk beribadah.” Sahut Kiara.
Ruangan jadi hening, suara detak jam tiba-tiba menjadi terdengar jelas, Kang Habieb kebingungan. Mbak Iren menatap Wajah Kiara lekat-lekat seolah mencari kebenaran disana. “Hebat,ya, sudah salah bukannya nangis malah nantang. Sombong juga anak ini.” Mbak Laura mencibir Kiara. Ridho dan Riana terbelalak. Ingin sekali Ridho menamparnya. Keamanan anyaran ini benar-benar brangasan. Tak mampu membedakan kesombongan dan sikap ksatria.
“Sudah mbak,kang, hukum saya sesuka panjenengan semua. Saya ngaku salah. Jangan nanya-nanya lagi,” kata Ridho.
Kang habieb dan pengurus keamanan masuk ke ruang dalam barangkali sedang berunding. Sessat kemudian Kang Dhika keluar dari ruangan itu.
“Silahkan kembali ke kamar kalian masing-masing. Besok kalian akan langsung ke meja hijau ke ndalem. Ini kasus berat kami harus berunding dengan pihak ndalem. Apapun keputusan ada ditangan Abah Kyai.”
Mendengar kalimat terakhir, baik Kiara dan yang lainnya memucat. Kiara tidak menyangka akan separah ini. dilaporkan ke ndalem tentu luka yang luar biasa.
Naina melangkah gontai, ia tak memperdulikan Kiara dan Riana. Pemandangan disekitar mengabur, pudar, gadis itu menangis sejadi-jadinya setelah sampai kamar.
Kiara menutup matanya, merasakan angin yang menyapu wajahnya. Tak terasa air matanya jatuh membasahi pipinya. Ia siap dengan apa yang terjadi ia hanya mampu mendoakan dirinya dan ke lima sahabatnya. Riana yang berada di jembatan menangis. Ini salahnya harusnya ia tak larut dalam kebahagiaan.
Sementara di asrama putra ke tiga pemuda itu berpencar mencari ketenangan masing-masing. Damar duduk bersimpuh di mushola. Air matanya mengucur deras. Ia sadar bahwa ia bukan santri yang pintar, bukan santri yang hafal 1000 alfiyah dalam seminggu, tapi ia tak mau dikeluarkan secara hina. Ia tak ingin mengecewakan keluarganya.
Ridho menunduk disamping jemuran ia merasa bersalah. Harusnya ia tak melakukan ini kepada teman-temannya. Begitupun juga Ali ia tidur dengan memeluk bantal. Bantal itu basah seperti terkena rembesan air hujan akibat air mata Ali.
***
Ke-esokan harinya, mereka ber-enam siap masuk ke Ndalem untuk mendengar keputusan dari Abah Yai. Kiara yang tak tidur semalaman membuat ia mempunyai kantung mata. Ia memikirkan nasibnya dan semua teman-temannya.
Abah yai duduk di kursi sambil menatap ke enam santrinya. Mereka semua menunduk Air mata Naina kembali jatuh. Ia tak sanggup mendengar amarah abah yai.
“Kalian yang keluar pondok tanpa ijin, tanpa menggunakan jilbab almamater untuk yang perempuan, dan kalian jalan bersama yang bukan mahromnya. Itu salah. Selama ini baru kali ini ada yang berani mbobol pesantren. Dan kalian ber –enam telah berani keluar gerbang. Benar-benar bondo nekat.” Ucap Abah yai. Beliau berhenti sejenak dan mengambil secangkir kopi, menyeruputnya dan menatap mereka kembali.
“Tapi, saya salut dengan kalian. Kalian telah bertanggung jawab atas apa yang kalian perbuat. Dari Habieb saya mendengar kalau kalian menabrak seorang ibu yang tengah menyebrang jalan. Lalu kalian tolong sehingga kalian pulang malam hanya demi menunggu keluarga ibu itu datang. Itu bentuk tanggung jawab kalian. Dan untuk perlakuan kalian yang melanggar peraturan pondok. Sampai saat ini hanya pengurus keamanan yang bagian menghukum orang-orang yang bersalah. Dan hari ini saya sendiri yang akan menentukan hukuman kalian. Kalian mau dihukum apa?” tawar abah yai.
“Kita manut mawon hukuman apa yang akan Abah yai berikan kepada kami.” Jawab Ridho memberanikan diri. Abah yai terdiam.beliau merasa bahwa ini adalah bentuk tanggung jawab mereka. Mereka mau mengakui kesalahan yang mereka buat dan tak lari dari masalah tersebut.
“Baiklah,jika liburan telah selesai semua Santri akan kembali kesini. Dan kalian membaca 2000 Sholawat Nariyah saat pengajian saya. Dari mulai, ngaji sampai selesai, jika ngaji saya tidak cukup dengan jumlah Nariyah kalian. Maka, bisa dilanjut ngaji besoknya lagi.” jelas abah yai.
Mata mereka terbelalak. Mereka tak tahu harus sedih atau senang. Senang karna keputusan Abah yai untuk tidak mengeluarkan mereka dari pesantren. Sedihnya karena membaca dua ribu sholawat Nariyah bukan perkara yang mudah. Riana tak membayangkan harus membaca 2000 sholawat Nariyah pada saat Abah yai mengaji. Bagaimana menghitungnya Dan dimana ia harus menempatkan diri. Tentu saja membacanya membutuhkan mental baja karena disaksikan seluruh santri.
***
Seluruh Santri heran menatap mereka ber –enam berdiri di sisi abah yai. Disudut kanan terdapat Ali, Damar, Dan Ridho dan disudut kiri Kiara, Riana, dan Naina. Kiara membawa tiga tasbih untuk mereka berdua.
“Wes ngadeko kene.! Woco sholawat sampe mari ngajine. nek gak tutug, yo sesok maneh.” Kata abah yai.
Mereka menurut dan membaca sholawat Nariyah. Abah yai mengaji seperti biasa. Tanpa menyinggung tentang kesalahan mereka.
“Allahumma sholli sholaatan kaamilatan Wa sallim salaaman taaman 'ala sayyidinaa Muhammadin Alladzi tanhallu bihil 'uqadu, wa tanfariju bihil kurabu…”
Lima belas menit berlalu kaki Damar mulai berat. Sementara pandangan Ali mulai kabur tubuhnya rasanya ingin tumbang. Keringat dingin mulai mengucur disekujur tubuhnya. Suara abah yai berangsur pelan bahkan hampir tak terdengar. Ia mengira akan segera pingsan saat itu juga.
Ridho melirik dan langsung menggenggam tangan Ali dengan erat. Entah kenapa ia mendadak kuat. Mereka berdua bergandengan. Telapak tangan Ridho seperti mempunyai kekuatan. Ali hanya dapat mendengar lafadz Sholawat yang dibacanya. Sementara Damar menutup mata meresapi satu demi satu maknanya.
Tak terasa doa akhir majlis diucapkan bersama. Kiara berhasil mencapai 1000 sholawat dalam Sembilan puluh menit.
Sampai seminggu mereka seperti itu dan hukuman pun telah mereka selesaikan. Abah yai yang menatap mereka perlahan-lahan tersenyum simpul. Selama ini tak ada santri yang kuat membaca 2000 Sholawat Nariyah. Tapi mereka mampu melewati itu semua dengan mudah serta tau makna satu persatu dari sholawat Nariyah tersebut.
***
Hari berganti Hari bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun. Tak terasa Kiara dan teman-temannya sudah akan lulus dari sekolah. Semua ujian sudah mereka lewati dengan semangat yang tinggi.
Minggu besok acara Akhirussanah akan berlangsung. Seluruh santri sibuk di dapur, santri putra sibuk membantu menata kursi.
Riana dan Kiara menatap sekeliling. Panggung akhirussanah dan kursi-kursi sudah tertata rapi. Kang pondok hilir mudik membawa daging yang darah nya masih mengucur. Ali, Arfin, Damar, dan dan yang lainnya membawa sayuran langsung ke pelataran pondok putri agar cepat ditangani. Sejak kejadian itu, angkatan mereka mulai erat kembali. Tak ada dendam dalam hati adanya hanya rasa malu yang dulu pernah kesal hanya karna masalah sepele.
Kiara memandang Damar dengan senyuman. Ia mengingat bagaimana perkenalan itu. Ia mengingat bagaimana genggaman itu sampai terjadi di Coban Talun.
“Kiara… bantuin angkat meja, Dong.!” Lamunan Kiara buyar ia memandang Ocha dan berjalan untuk membantunya.
***
Hari minggu yang mereka tunggu. Tepat jam 12.30 acara dimulai. Naina dan kawan-kawannya sudah siap dengan seragam berwarna merah maroon dipadukan dengan kerudung pashmina cream membuat mereka layaknya bidadari dari pesantren. Sementara itu Ridho dan kawan-kawannya siap dengan kemeja berwarna merah maroon dengan peci hitam dan sarung hitam.
Ali berjalan menuruni tangga ia melihat Naina yang begitu cantik. Jantungnya berdetak kencang perlahan-lahan ia tersenyum. Ia tak menyangka bahwa ia mencintai gadis secantik dan sepintar Naina.
Jam 17.00 Acara Akhirussanah telah selesai semua berjalan dengan lancar tak ada kendala. Mereka yang sudah lulus merayakan dengan acara berfoto bersama. Semua tampak sedang mengantri untuk berfoto. Riana mencari Ridho di antara kerumunan orang-orang. Tiba-tiba tangan kokoh menangkap lengannya.
“Ikut Aku!” bisik seseorang yang berada di belakangnya yang ternyata itu Ridho.
Riana pun menurut. Mereka berdua menerobos diantara gerombolan wali santri yang akan pulang. Pemuda itu membawa Riana dengan sepeda motor.
Ternyata ridho membawa ke tempat lesehan Pak Khoirul. Gadis itu tertegun ketika melihat Ali, Damar, Kiara Dan Naina sudah disana. Kiara menaikkan alis dan melambaikan tangan untuk ucapan selamat datang. Riana tertawa kecil.
“Aciee,, kakak-kakak ini udah pada lulus. Rencana kuliah dimana ini?” Tanya Hamzah.
“Dimana aja boleh, Zah. Santri mah mau jadi apa aja bisa. Ahahahah” canda Ridho.
“Wahaha .. siap..! pesan apa ini?” Tanya Hamzah lagi.
“seperti biasa.” Jawab Kiara Semangat.
“Oke aku sampai hafal pesanan sampeyan-sampeyan kabeh. Whahaah ditunggu ya.!”
Mereka tersenyum mengangguk hampir bersamaan. Ucapan Ridho yang terucap waktu itu menjadi kenyataan. Suatu saat nanti rasa takutmu akan kalah dengan rasa cintamu. Semua ikatan yang sudah diputuskan dari atas Meski mata terpejam atau terbuka Nama yang terukir dalam hati adalah orang yang kau cintai.


SELESAI

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience