1. | SENJA YANG BERLABUH |

Thriller Series 719

DI luar ada bunyi langkah orang menapak mendaki satu persatu anak tangga yang terbuat daripada kayu. Bunyi itu berhenti betul-betul di hadapan pintu. Kemudian diam. Kedengaran bunyi kunci disorong ke dalam lubang dan berderit.
Akhirnya pintu itu terbuka setelah ditolak dari luar dengan bunyi yang bising, kerana engselnya sudah berkarat.
Penghuni rumah ini seorang pemuda yang menamakan dirinya Louis Pointe adalah orang yang pertama meloloskan dirinya ke dalam.
Dia seorang lelaki berusia kira-kira dua puluh lima tahun. Wajahnya nampak tenang. Rambutnya tumbuh lebat dan disisir ke belakang tanpa belahan. Dia berpakaian hitam dari kepala ke kaki.
Louis kemudian menoleh ke belakang, kepada orang yang bersamanya. Seorang yang baru dikenalinya. "Come on in."
Seorang lelaki yang nampak awet muda pada umurnya yang sudah tiga puluh tahun. Seorang lelaki yang menamakan dirinya Michael Enslin.
"Well, this is it" Louis berkata.
"Oh, this is where you live, huh?"
Mereka sedang berada di ruang tengah.
Michael melihat sekeliling.
Kelihatan satu dinding ruangan itu dilindungi oleh rak setinggi tujuh kaki. Di sana kelihatan timbunan buku-buku yang disusun begitu rapi.
"Quite a library," Michael berkata.
"Oh, very modest little collection," sahut Louis dengan sopan. Dia ialah seorang yang suka membaca.
Louis berpaling lalu ditutup pintu.
Pandangan Michael diputarkan ke sekeliling ruang itu. Di tengahnya ada sebuah meja, dikelilingi empat buah kerusi. Lukisan disangkut di beberapa muka dinding.
"A small place but mine own," Louis menerangkan. "I've always been curious about this place. It was built in the early 1900s. The site's supposed to be on an Indian burial ground. A lot of peculiar things have happened in this house."
"Are you trying to tell me that this house is haunted?" balas Michael.
"You know what's really creepy? The man who built this place murdered his wife and a servant," Louis menjelaskan. "The house has been empty since then. Are you uncomfortable with it?"
Tinggal berjauhan daripada jiran, mencetuskan persepsi negatif masyarakat setempat yang mendakwa kediaman Louis turut dihuni 'makhluk halus'.
Dengan pantas Michael menjawab, "Why should I? Is that supposed to frighten me?"
Dia tidak terperanjat semasa diberitahu mengenai kisah pemilik asal yang bertanggungjawab membina rumah itu. Tanpa disedari Louis, Michael terpanggil untuk mencari kebenaran di sebaliknya berbekalkan rasa ingin tahu yang tinggi.
"So that's okay?" Louis memandanginya dengan kening terangkat.
Michael mengangguk dan menjeling Louis. "It's fine. I know that ghoulies and ghosties and long-legged beasties don't exist."
"All right, have it your way," Louis melambaikan tangan menyilakan tamunya duduk. "Won't you sit down?"
"Thank you." Michael meletakkan beg yang digalas di bahu kanannya ke atas meja. Kemudian dilabuhkan punggungnya di sebuah kerusi membelakangi jendela.
Louis menuju ke jendela berhampiran yang separuh terbuka. Dikuaknya jendela sebesar-besarnya. Angin dari luar mengodek-ngodek langsir jendela.
Matanya menerobos keluar, memandang ke langit. Matahari semakin jatuh. Petang sudah mengengsot ke senja dan senja mula melabuhkan diri.
Dari jendela ini juga dapat dilihatnya laut luas dengan kapal-kapal lalu-lalang.
Louis berpaling kepada Michael dan bertanya, "You followed me here, didn't you?"
Perlahan-lahan dia beredar dari sisi jendela.
"Yeah, I supposed I did," jawapan itu terpancut pantas dari mulut Michael. "Perhaps you are an interesting man."
Tercengang Louis mendengar pengakuan berterus terang Michael itu. "I don't like nobody following me unless I know why. Why are you following me? Just what your interest anyway?"
"I'm writting a book," balas Michael.
"Are you a writer?" Louis bertanya lagi.
Michael angguk. "Yes. I'm specializes in interview people to find inspiration for writing. I write for Coastal Reports sometimes."
Tirai malam yang kelam mulai membalut seluruh ruang rumah. Louis petik suis. Ruangan dalam rumah terpencil itu kemudian diterangi oleh limpahan cahaya lampu listrik yang tergantung di tengah langit-langit ruangan itu.
"Would you like some coffee, Mr.... " Louis teringat bahawa sebetulnya dia belum lagi berkenaI-kenalan dengan lelaki itu. "I didn't get you name."
"I'm awfully sorry. My name is Michael Enslin."
"Well, Mike... I hope you don't mind if I call you Mike."
"No. That's entirely up to you."
"Would you care for some coffee?" pelawa Louis dengan ramah.
"Yes, please," sahut orang itu. "But to whom, may I ask, am I speaking?"
"I'm Louis Pointe."
Louis sudah ke dapur untuk menyediakan kopi.
"How do you take it?" Louis bertanya.
"Black." Michael terus memandang Louis secara sipi. Memastikan Louis dalam pandangannya.
Kini keduanya terdiam, masing-masing dengan fikirannya sendiri.
"What line of work you in?" Tiba-tiba tanya Michael.
"Oh, wander about." Louis membalikkan badannya dan dia kembali masuk ke ruang tengah dengan membawa secangkir kopi.
"That's a good occupation."
Cangkir kopi diletakkan di atas meja, di hadapan Michael.
"Oh, thank you."
Louis berdiri di depan jendela dengan tangan bertaut di belakang, memandang ke arah laut.
Michael menghirup seteguk kopi dan berkata, "Delicious coffee."
"How can I be of help to you?"
"Like I said, I interview people to find inspiration for writing."
"Is my personal life of interest to you?"
"Of course it is. All life interest me."
"So you want me to tell you the story of my life? Put it all in your book?" soal Louis menguji.
"I'm a collector of lives," kata Michael sambil menjeling. Suaranya mengandung harap. "Tell me everything about you."
Louis anggukkan kepala tanda memahami.
Michael mengeluarkan sebuah pita rakaman dari begnya dan meletakkan di atas meja. Dia selalu membawa pita rakaman kecil. Ke mana saja selalu diletakkan dalam beg galasnya. Siapa tahu suatu saat ada peristiwa penting terjadi di depan matanya?
"You mind if I smoke?" pintanya bagai tidak sabar.
"Oh, no, not at all, Mike," kata Louis tanpa ragu-ragu lagi. "Please do."
Sebatang rokok dipacakkan ke bibir, dinyalakannya dengan tenang. Dia menyedut rokok yang membara di bibirnya.
"You'd have to have a lot of tape for my story," tegur Louis. Dadanya disarati tanda tanya.
"That's no problem. I got a bag full of tape right here. What do you say we get started?" Michael mencadangkan. Dia membetulkan duduknya supaya menjadi lebih selesa.
Louis tersenyum. Dia bersedia berkongsi pengalaman silamnya dengan Michael.
"Erm... before we got down to it. Do you believe in ghost?" Louis menyoal.
"Ghosts? No." Michael meningkah sambil menyedut asap rokoknya dalam-dalam. "There no such things as ghosts and monsters."
"Witches? Wizards?" Louis terdorong untuk memanjangkan perkara itu.
"No," jawab Michael sepatah.
"Werewolves?"
"Of course not."
"Vampires?"
"Fictions, my friend," ujar Michael. Dia menganggapnya hanya satu cerita karut.
Kata-kata Michael menusuk tajam hati Louis. Dia berpeluk tubuh dan melepaskan satu keluhan. "So you're saying there's no such things as vampires?"
"I'm saying I've never seen one. If vampires existed, don't you think we would've found them by now?" Michael memberi pendapatnya.
"They exist," ujar Louis, yakin.
Michael mencebik bibir. "Do you really believe that?"
"I do. There's no doubt about it in my mind," Louis mempertahankan kebenaran yang diyakininya.
"What makes you so sure?" tingkah Michael tidak mahu mengalah. "Can you prove this?"
Orang yang berdiri di dekat jendela itu membalikkan badannya. "I'm a vampire."
Terfana Michael seketika. Dia sedut rokok lagi, lepas asap keluar perlahan dari hidungnya. "That's something I haven't heard before."
Ketika ini dia mendengar seperti suara orang di hadapannya, "I haven't been human for 100 years."
Entah macam mana, Louis sudah mengambil tempat duduk di kerusi yang ada di depannya. Duduk berhadapan muka.
Tergamam Michael. Berkerut-kerut dahinya penuh takjub.
"Where'd you learn how to do that?"
"It's actually simple. The same as you do. Only I moved too fast for you to see."
Michael menggaru-garu dagunya. "Tell me how it was done."
"It's in my power." Ditatapnya wajah penulis buku itu. Memandang dengan tenang. Tidak langsung mengerdip mata.
"So that is the way you did it? You're not lying, are you?"
"Why should I lie?"
"I tell you one thing, it's kind of scary." Michael menentang pandangan tajam Louis. "It's like something out of a supernatural book. It's kind of cool thought."
Sesungguhnya sinar mata Louis yang tajam menikam ke matanya telah menggambarkan kejujuran memberitahu dirinya vampire. Dia mesti menerima kenyataan ini sekarang.
Louis Pointe tidak main-main. Dia yakin itu.
"You need to have no fear of me. I'm not going to hurt you or anything like that. So just remain calm," kata Louis mencuba mencairkan suasana yang tegang itu.
Michael menyedut asap rokoknya. Kemudian menenyeh rokoknya ke dalam tempat abu rokok di hadapannya .
"So we are ready to start?" Michael bertanya, sambil menyuakan cangkir ke mulut.
"What do you want to know?"
"Well, who you are, what you do, where you come from."
Mata Louis beralih melihat ke pintu, seperti ada sesuatu yang menjadi titik perhatiannya. Kemudian pandangannya singgah ke wajah Michael.
"Do you believe in pontianak?" soal Louis.
"What is a pontianak?" tanya Michael agak hairan. Sesuatu yang benar-benar tidak difahami olehnya.
"A pontianak is an evil demon who feeds on human being. Things like that. You can google it," Louis menerangkan semudah mungkin. "I'll never forget the first time I met her. I've never seen anything like her in my 100 years."
"Is she attractive?"
"Chomel is as charming as she is beautiful. Why don't you talk to her yourself?"
Michael menoleh ke arah kanan. Dia melompat dari kerusinya macam orang latah dicucuk pinggang. Dia berdiri terpacak. Dia terkejut dan kelihatan bimbang.
Di sisinya, kelihatan seorang gadis bermuka bujur dengan bibir mungil dan dagunya sedikit runcing sedang berdiri. Berkulit cerah. Gadis itu memakai pakaian serba hitam.
Sesungguhnya dia tidak sedar bagaimana Chomel boleh ke mari dan dengan tiba-tiba pula sudah berdiri di sebelahnya.
"You startled me. I didn't hear you come in," Michael berkata dengan cemas. "You must be Chomel?"
"Last I remember." Chomel mengorak senyum nipis.
"When did you get here?"
"Just now." Chomel yang murah senyuman itu senyum lagi.
Bola mata Chomel menyorot ke wajah Louis. "What a nice looking man. Who is he?"
"Chomel, this is Michael Enslin," jawab Louis seraya memalingkan mukanya ke arah Michael.
Chomel berpaling menghadap Michael. Dia mendekati dan berjabat tangan dengan Michael sambil berkata, "Hello, Michael. Delighted to meet you."
Mata Michael bertaut ke wajah Chomel. Parasnya Melayu. Seluruh muka Chomel direnungnya tepat. Ternyata dia gadis cantik selain mempunyai bentuk badan yang menawan. Membuat setiap orang menatapnya dengan perasaan tak kunjung puas-puasnya.
"Wow, you're really pretty, " kata Michael tanpa ragu-ragu lagi. "So you're a pontianak?"
"Yeah. Last time I checked."
"How old are you?"
"Over 21. Now I'm going to get grief from you because I still look like a teenager? Age is just a number."
"But how old are you... really?"
"22. But... I've been 22 for a very long time. I stopped aging 500 years ago." Chomel senyum meleret. Ada tompokan darah di pipi kanannya .
"You got blood on your cheek."
"Going to make you faint?"
"I hope not," sahut Michael.
"I think you better sit down before you fall down."
Michael mengangguk setuju. Dia duduk kembali di tempatnya semula.
Chomel melabuh duduk di sebelahnya. Ditatapnya wajah Michael.
"Where would you like me to begin?" tanya Louis.
"Let's start with how did you guys meet."
Dalam ingatan Louis membayang suasana suatu malam. Menyusur-galur segala peristiwa yang lampau. Pertemuan mereka bagaikan takdir telah menentukannya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience