6.Sesak

Romance Series 22809

"Hai Kak, aku sangat merindukanmu." Arianna beralih memeluk Arvin, setelah meneluk Ayah dan ibunya.

"Apa kau baik-baik saja di sana?" Tanya Arvin, setelah pelukan mereka terlepas. Arianna mengangguk, lalu matanya terkunci saat menatap Aceline. Arianna berjalan mendekati Aceline, yang masih terpaku di tempatnya.

"Apa dia, Kakak iparku?" Tanya Arianna pelan. Dengan terpaksa Arvin mengangguk, dia ingin sekali tidak mengakui wanita itu. Tapi ada kedua orang tuanya.

"Senang bertemu denganmu, kak." Ujar Arianna, seraya mendekap Aceline dengan erat.

Arianna terus mengoceh, semuanya ia ceritakan pada Aceline. Adanya Aceline, seperti memberikannya sesuatu yang baru. Aceline sangat pas untuk dijadikan nya Kakak, karena dia seseorang yang tenang dan pendengar yang baik.

"Kakak kau tau, kalau Kak Arvin itu sempat memiliki pacar sebelum denganmu? Apa dia masih berhubungan dengan wanita itu?"

Haruskah aku menceritakan tentang keinginan Arvin, untuk bercerai saat 6 bulan pernikahannya nanti?

"Tidak, mereka sudah tidak menjalin hubungan lagi." Tidak ada seorangpun yang boleh tau permasalahan rumah tangganya bukan? Dia akan berusaha sekuat tenaga, untuk membuat pria itu melunak dan mencintainya sebagaimana mestinya.

****

Arvin terus mengelabuhi sang pacar, sampai saat ini dia belum mengatakan, kalau dia sudah menikah, pada Ryn. Karena dia memang tak ingin Ryn tau, dia tinggal menunggu. Jika saatnya tiba, dengan segera ia akan menceraikan wanita itu. Lalu hidup bahagia dengan Ryn.

"Hallo kau dimana, sayang?"

"..."

"Kenapa kau tak bilang kau akan pulang?"

"..."

"Baiklah, aku akan menunggumu."

Arvin menghela nafas berat seraya mengusap wajahnya dengan kasar, gila. Bagaimana caranya untuk mengatakan pada Ryn, saat wanita itu tau nanti. Bagaimana jika Aceline mengatakan semuanya pada Ryn.

****

Hari ini Aceline libur kuliah, dia sudah bangun begitu pagi. Untuk membantu Bi Ani, membuatkan sarapan suaminya.

"Kau sudah bangun." sapa Aceline, ketika Arvin berjalan menghampirinya dan duduk dikursi, tanpa menjawab pertanyaan sang istri.

Aceline, meletakan satu piring berisi telur mata sapi, sosis dan sayuran di depan Arvin. Tidak lupa dengan satu gelas orange jus.

Seperti biasa, mereka makan dalam hening. Tidak ada satu patahpun yang keluar dari mulut mereka, Aceline sudah biasa mendapat tatapan sinis dari suaminya, karena dia selalu mencoba menjadi lebih dekat.

"Aku berangkat." pamit Arvin seraya berdiri dari duduknya, Aceline dengan segera berdiri dihadapan Arvin.

"Dasimu miring biar ak.." tangan Aceline hendak menyentuh dasi Arvin, tapi dengan cepat Arvin menepis tangan kecil itu. Sedikit kencang, karna bisa terdengar ringisan pelan dari bibir wanita itu. Menandakan kalau tangannya terasa sakit. Lagi-lagi dada Aceline terasa begitu sesak, tapi dia harus terbias, harus.

Tanpa berpamitan lagi, Arvin berjalan keluar rumah. Sedangkan Aceline tak bisa mengatakan apapun, yang bisa ia lakukan adalah menghela nafas panjang, lalu menghembuskan nya secara perlahan. Mungkin Tuhan sudah menggariskan kapan, ia dan Arvin bisa tertawa bersama. Dia akan terus menunggu, entah sampai kapan.

***

Hari sudah semakin siang, Aceline berniat mengantarkan makan siang untuk suaminya. Di bantu oleh Bi Ani, Aceline menyiapkan beberapa lauk pauk, nasi serta buah-buahan untuk pria itu. Semoga dia suka.

"Bi, aku berangkat, ya." pamit Aceline seraya meraih bekal makan siang, yang sudah disiapakan olehnya.

Setelah beberapa menit perjalanan, Aceline sampai di kantor milik keluarga Peterson. Begitu besar dan mewah, itu kesan pertamanya.

"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?"

"Siang. Eumm... aku ingin bertemu dengan Arvin Connor Peterson."

"Maaf dengan siapa?"

"Aceline Kennedy." beritahunya, sang Resepsionis pun tersenyum dengan ramah.

"Nyonya Aceline?" Aceline mengangguk dengan senyum cerianya. "Ah, anda istrinya Mr.Peterson bukan? silahkan menunggu di ruangannya, kebetulan Mr.Peterson sedang keluar sebentar."

Aceline mengangguk, lalu dengan segera menuju ruangan yang di tunjuk sang Respsionis.

Aceline meneliti seluruh ruangan itu sangat bersih dan rapih, nyaman juga tentunya.

"Lama sekali apa di.."

Suara pintu terbuka, serta suara kaki yang begitu ganduh. Membuat Aceline menoleh, ia melihat dua orang masuk kedalam ruangan Arvin. Aceline terpaku di sofa, tubuhnya menegang melihat sepasang kekasih sedang bercumbu begitu mesra. Menyebabkan decapan-decapan lidah dan bibir mereka terdengar.

"Maaf." kata Aceline menyadarkan sepasang kekasih itu, akan adanya sepasang mata yang sedang mengamati mereka.

Mata Arvin membulat, rahangnya mengeras ada emosi yang tertahan di sana. Kalau saja tak ada Ryn di sana, Arvin pasti langsung mengamuk. Tapi dia menahannya, dia tak ingin Ryn mengetahui yang sebenarnya. "Siapa ya?" tanya Ryn dengan wajah bingungnya.

"Ehm, aku asistennya Mr. Marvin ingin..."

"Tunggu di sini Ryn, aku ingin bicara dengannya."

Dia mengelus lembut rambut panjang Ryn, setelah mendapat persetujuan dengan anggukan pelan wanita itu. Arvin dengan kasar menarik tangan Aceline keluar dari ruangannya. Dia menghempaskan tangan Aceline, yang tadi berada di genggamnya dengan kasar. Hingga Aceline sedikit limbung.

Aceline merintih pelan, ketika dia merasa tangannya membentur dinding dengan cukup kencang.
"Mau apa kau ke sini?" Tanya Arvin penuh penekanan, matanya yang hitam terus menatap wanita di hadapannya itu, dengan semua tuduhan-tuduhan yang tak terucapkan.

"a-aku ingin mengantar makan siang unt..."

Aceline tak bisa melanjutkan kata katanya, karena tiba-tiba saja tenggorokannya terasa kering. Sehingga suaranya susah untuk keluar.

"Aku tidak butuh perhatianmu." ujar Arvin dengan cepat, dia tak ingin melihat Aceline lebih lama lagi. Mata Arvin terus menatapnya dengan tatapan mencemooh. Mungkin pria itu ingin mengatakan seburuk apa penampilannya, tapi tak bisa ia katakan.

"Maaf." lirih Aceline, susah sekali rasanya untuk tidak menangis. Dia mendapati suaminya sedang berciuman dengan kekasihnya, membawa makan siang, yang malah mendapatkan tatapan tajam dari Arvin. Tatapan yang sirat akan kebencian. Segitu bencinya kah dia pada Aceline, tapi kenapa? Aceline tak pernah merasa, pernah membuat kesalahan.

Arvin merampas tas kecil berisi makanan yang dipegang Aceline, dengan sekali sentak. Arvin meneliti tas kecil yang sedang ia pegang itu, lalu tersenyum meremehkan. Mata tajamnya kembali menatap Aceline, tatapannya seperti ingin memakan Aceline secara bulat-bulat.

"Karena ini kau mengangguku?" dia mengangkat tas itu di sisi wajahnya. Aceline mengangguk pelan. Kepalanya tertunduk dalam. Takut, dia sangat takut saat ini. Arvin menarik sisi kanan bibirnya, dan dia membuang kotak bekal beserta isinya ke tempat sampah. Mata Aceline membulat, Mulutnya menganga tak percaya. Apa sehina itu makan siang darinya? hingga makanan itu pantas masuk ketempat sampah?

"Kenapa mau marah? Aku tidak menyuruhmu untuk membawa sampah ke kantorku, sekarang pulang!" Aceline bergeming, dia ingin sekali meneriaki Arvin. Apa salahnya, kenapa pria itu selalu bersikap kasar.

Arvin menggeram tertahan, melihat Aceline yang tak kunjung beranjak dari tempatnya. Lalu Arvin berteriak dengan wajah yang sudah memerah.

"PULANG!"

Aceline tersentak kaget mendengar teriakan itu, Matanya sudah memanas. Tapi dia harus menahan airmatanya itu.

"Maaf." ucapnya penuh sesal, sebelum pergi meninggalkan pria itu dengan amarahnya.

Aceline memutar badannya, dan berjalan menjauh meninggalkan Arvin Setelah puas menangis dalam diam, Aceline masuk ke dalam rumahnya dengan senyum palsu yang terukir di sana.

"non udah pulang."Aceline hanya mengangguk di sertai senyum palsunya.

Aceline berjalan dengan pelan menuju kamarnya, dia butuh ketenangan.

Dia menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih, air mata mnya sudah tidak bisa ia bendung, dia menangis sendiri dalam diam. Begitu rumit rumah tangga yang ia jalani sekarang, Arvin tak pernah menginginkannya, dia tak pernah terlihat di mata pria itu. Dia selalu memiliki kesalahan yang cukup membuat Arvin membentaknya.

Aceline terus menangis hingga tak terasa gelap mulai menyelimutinya, hingga ia terlelap. Dia berharap hanya akan ada mimpi indah yang datang, karna harinya sudah terlalu kacau untuk mendapatkan mimpi buruk juga dalam tidurnya.

***

Hari sudah semakin malam, Aceline turun dari kamarnya menghampiri Bi Ani yang sedang memasak untuk makan malam

"Bi, butuh bantuan?" Bi Ani menoleh seraya tersenyum tipis ke arah Aceline.

"Gak perlu Non, sudah selesai semua." tak bisa diam, Aceline bergerak kesana kemari membatu apa saja yang belum Bi Ani kerjakan.

"Yasudah heumm.... aku siapkan minumnya saja." Aceline mulai sibuk menyiapkan gelas-gelas, lalu di isinya dengan air.

Selesai menata semua makanan di meja. Aceline menunggu suaminya pulang kerja, seperti malam malam sebelumnya.

Tidak lama suara mobil sudah mulai mendekat, Arvin masuk masih dalam amarahnya tadi siang. Pria itu membanting pintu dengan kencang hingga Aceline dan Bi Ani terlonjak kaget.

"Arvin kau su..." Arvin dengan kasar menarik tangan Aceline, membuat wanita itu merintih pelan saat merasakan nyeri di tangannya. Tangannya masih terasa sakit karena benturan dengan dinding kantor Arvin tadi siang.

"KAU HARUS MEMPERTANGGUNG JAWABKAN SEMUANYA."

Aceline meringis menahan nyeri di tangannya, dia bahkan berlari kecil. Untuk menyamakan langkahnya, dengan langkah Arvin yang panjang.

Arvin mendorong tubuh Aceline untuk masuk kedalam ruang kerjanya, pria itu mendongakan kepalanya seraya memejamkan mata, nafasnya meburu karena emosi yang tak tertahankan.

Wanita itu tau, kalau Arvin sebentar lagi akan meraung dengan semua emosinya. Aceline berdehem pelan lalu berkata.

"Arvin kau mau mandi, akan aku siapkan air pa..." kata-katanya terhenti ketika Arvin menatapnya dengan tajam penuh dengan kebencian, dia sangat membenci wanita itu kenapa dia tak juga sadar akan kesalahannya.

Bodoh!

"Sudah kubilang beberapa kali, aku tidak suka kau ikut campur, jangan pernah memunculkan wajahmu itu di depanku. Jangan pernah mengeluarkan suaramu saat ada aku, jangan pernah memberikan perhatian padaku. Aku tidak sudi melihatmu, kau sengaja tadi datang untuk memberitahu Ryn, kalau kau sudah menikah denganku?" Bentaknya.

Aceline menunduk dalam lalu menggeleng lemah, dadanya serasa di beri beban berton-ton. Begitu sesak hingga dia sulit untuk bernafas.

Tbc.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience